Sabtu, Februari 20, 2010

Kisah Sayyidina Umar dan Seekor Burung Pipit


Suatu siang yang teramat terik di bumi Madinah. Matahari tengah benderang.Teriknya sungguh garang menyapa hampir setiap jengkal kota dan yang berpasir lembah. Jalanan senyap, orang-orang lebih memilih istirahat di dalam rumah daripada bepergian dan melakukan perniagaan. Namun tidak bagi Sayyidina Umar Bin Khattab, lelaki tegap, berwajah teduh dan mengenakan jubah yang sederhana itu berjalan menyusuri lorong-lorong kota sendirian. Ia tidak peduli dengan panas yang menyengat. Ia tak terganggu dengan debu-debu yang naik ke udara. Ia terus saja bersemangat mengayun langkah. Sesekali ekor matanya berkerling ke sana ke mari seperti tengah mengawasi. Hatinya lega, ketika daerah yang dilewatinya sentosa seperti kemarin.

Hingga ketika, saat ia melewati salah satu sudut Pasar di Madinah, tiba-tiba ia berhenti. Langkahnya surut. Pandangannya tertuju pada anak kecil di sana. Ditajamkan pendengarannya, samar-samar ia seperti mendengar suara lirih cericit burung ‘ushfuriyah (sejenis burung pipit). Perlahan ia mendatanginya dan dengan lembut ia menyapa bocah laki-laki yang tengah asyik bermain.

“Nak, apa yang berada di tanganmu itu?” Wajah si kecil mendongak, hanya sekilas dan menjawab. “Paman, tidakkah paman lihat, ini adalah seekor burung,” polosnya ringan. Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, “Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika mahluk kecil ini teraniaya.”

“Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin memilikinya,” suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata, “Baiklah paman,” maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama
kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang, “Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah…terbanglah…”

Maka sepasang sayap itu mengepak tinggi. Ia menengadah hening memandang burung yang terbang ke jauh angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih.

Hari berganti minggu, minggu berganti tahun dan seterusnya. Sehingga sampailah Sayyidina Umar dipanggil ke hadapan Yang Maha Rahman dan Rahim.

Suatu ketika, jauh setelah Sayyidina Umar bin Khattab meninggalkan rakyat yang sangat mencintainya, beberapa ulama bermimpi bertemu Sayyidina Umar bin Khattab di Surganya Allah SWT. Diberi kesempatan bertemu dengan pemimpin yang sangat dicintai, beberapa ulama serempak mengajukan pertanyaan kepada Sayyidina Umar bin Khattab: “Wahai Umar, kami semua ingin seperti anda, ingin bersama anda di dalam surganya Allah yang indah. Amalan ibadah apa gerangan yang bias membuat anda berada di tempat yang mulia ini?”

“Apakah karena keberanianmu berada di garis terdepan menghadapi musuh – musuh Allah?”
“Apakah karena keadilanmu dalam memutuskan suatu perkara?”
“Apakah karena kezuhudanmu?”
Dengan berlinang air mata, Sayyidina Umar menjawab:
“Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa pada saat jasadku kau masukkan ke dalam liang lahat. Kemudian kau menimbun jasadku dengan tanah sampai memenuhi seluruh ruang kuburku. Dan setelah kalian smeua meninggalkanku sendirian di tempat yang gelap. Datanglah dua malaikat yang membuat saya merasa sangat ketakutan luar biasa. Entah kenapa, saya belum pernah merasa ketakutan seperti saat itu.”
Sayyidina Umar melanjutkan:
“Tiba – tiba saya mendengar Allah berseru kepada para malaikat yang membuat saya ketakutan luar biasa tersebut. Wahai para malaikat-Ku, janganlah kamu membuat takut hambaku yang sangat penuh kasih sayang ini. Yang telah dengan belaian kasih sayangnya pula, dia telah membuat burung ‘ushfuriyah terbang bebas di angkasa”

Allaahur rahmaanur rahiim. Berkasih sayanglah kamu terhadap seluruh makhluk di muka bumi, maka niscaya seluruh penghuni langit akan menyayangimu



Sumber:

Kitab Al Mawa’idhul ’Ushfuriyah karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar
Al’Ushfuri
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...