Kamis, Oktober 27, 2011

Sekilas Riwayat Hidup Pangeran Hidayatullah



Tulisan merupakan kiriman dari Keturunan Pangeran Hidayatullah di Cianjur

Foto dari halaman pertama buku “De Bandjermasinsche Krijg” van 1859-1863 Karangan W.A. van REES dengan tulisan dibawahnya “De Hoofdopstandeling” (“Kepala Pemberontak”).

Sekilas tentang Sultan Hidayatullah Al-watsiq billah dalam Perang Banjar.

Pangeran Hidayatullah diangkat menjadi Sultan Banjar berdasarkan Surat Wasiat Kakek beliau Sultan Adam. Pengangkatan ini dilakukan karena ayah Pangeran Hidayatullah, Sultan Muda Abdurrahman wafat.

Lahir di Martapura pada tahun 1822 M, di-didik secara Islami dipesantren Dalam Pagar Kalampayan ( Didirikan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari, salah seorang tokoh Agama Islam di Nusantara ) sehingga memiliki ilimu kepemimpinan serta keagamaan yang cukup tinggi untuk kemudian dipersiapkan menjadi Sultan.

Sebelum menjadi Sultan sempat menduduki jabatan sebagai Mangkubumi kesultanan pada tahun 1855 M. Pada saat itu jabatan Mangkubumi diangkat oleh Kolonial Belanda dengan persetujuan Sultan Adam. Dengan menduduki jabatan tersebut maka Pangeran Hidayatullah bisa lebih memahami & menyelami kondisi Kesultanan maupun rakyat Banjar, serta mengetahui kekuatan dan kelemahan kolonial Belanda (spionase), hal tersebut sangat berguna untuk persiapan perang.

Akibat campur tangan berulang-ulang pihak Belanda dalam pemerintahan Kesultanan, pemaksaan monopoli perdagangan, konsesi-konsesi pertambangan yang sepihak, serta kuatnya misi kaum nasrani ( Zending ) yang masuk kedalam benua banjar dengan dukungan tentara Hindia Belanda, maka mengakibatkan kebencian rakyat yang sangat mendalam. Perselisihan-persilisihan itu telah sangat lama terjadi, semenjak Kesultanan dipimpin oleh Sultan Suriansyah (~ 1600 M). Kebencian yang tak dapat lagi didiamkan, harus di tuntaskan, Sultan dan Rakyat bersatu untuk mengadakan perang Jihad Fisabilillah.

Sebelum dan ketika perang Sultan mengangkat beberapa Panglima perang karena luasnya areal medan pertempuran. Dari sebelah barat, Kesultanan Sambas, Sampit, Sangau, Kotawaringin, Pagatan bahkan jauh ke timur Kesultanan Pasir maupun Kesultanan Kutai dll. Dipersiapkan oleh Pangeran Hidayatullah sebagai areal perang maupun penyokong Perang Banjar .

Beberapa kutipan dari buku-buku karya Hindia Belanda.

Hidayat telah merencanakan dan mempersiapkan pemberontakan yang kemudian akan meluas diseluruh kerajaan “.

“ ….. Loera housin telah menerima dari Hidayat batu permata untuk menghasut penduduk daerah itu melawan gubernemen “.

“ ….. Hidayat sebulan yang lalu berada di gunung Batu Tiris telah mengadakan rapat akbar yang dihadiri para kepala “.

“ ….. seorang bernama Doelmatalip di Nagara telah menerima sepucuk surat dari Hidayat guna memanggil rakyat untuk melakukan perang Sabil “. (De Bandjermasinsche Krijg hal 14,20,31 & 71)

Pengangkatan salah satu pimpinan perangnya seperti berikut ;

“ Surat Seruan Pangeran Hidajatoellah ;

Dengan ini saya menganugrahkan kepada seorang rakyat bernama Gamar gelar Tumenggung Cakra Yuda dan dengan ini pula memperkenankan kepadanya melakukan Perang Sabilullah untuk menegakkan kejayaan agama dan ajaran Nabi Muhammad Rasululloh SAW.

Selanjutnya saya memaklumkan, bahwa pengangkatan ini tidak dapat diubah lagi, sehingga dengan demikian Tuan dapat mengadakan musyawarah atau persetujuan dengan Mufti Muhammad Cholid (mufti gubernemen ), Mufti Abdul Jalil, Pangulu Machmud ( pengulu gubernemen Martapura ), Tuan Chalifah Idjra-ie ( bertugas melakukan penyumpahan para saksi di Mahkamah Militer di Martapura ), semua haji yang di Dalam Pagar ( tempat tinggal para ulama ) dan yang ada di mana-mana dan semua kepala didalam perang ini disamping semua penduduk kampung, baik lelaki maupun perempuan, yang masih terikat kepada Al Khaliq dan Rasulnya.

Bilamana ada diantara mereka yang tidak memperhatikan atau ada yang menentang peraturan yang telah saya keluarkan, maka saya memperkenankan kepada Tuan untuk menghukumnya sampai mati dengan jalan dipancung kepalanya dan menghancurkan harta bendanya.

Dalam hal Tuan tidak melaksanakan kemauan saya ini dengan seksama dan tidak memperhatikan semua perintah yang telah saya keluarkan dengan persetujuan orang tua saya , maka Tuan dan seluruh keturunan Tuan selama lamanya akan terkutuk.

Saya memohon semoga Yang Maha Kuasa akan memperkenankan harapan saya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan dari Dayak Dari, Dayak Dusun (Tanah Dusun) dan Dayak Biajau menyerang dan menghancurkan Martapura. Oleh karena yang disebut diatas masih orang kafir (belum Islam) maka akan merupakan suatu kebajikan apabila mereka ikut menghancurkan musuh-musuh Nabi .

Surat ditulis Pangeran Hidajatoellah tanggal 22 Jumadil Awal 1277 / 10 Desember 1860 ditandatanganinya dan juga oleh Pangeran Wira Kusumah (masing-masing cap dan Pangeran Hidajatoellah dengan cap Sulthan).

Surat itu diperlihatkan oleh Gamar kepada Resident ketika ia ditangkap oleh Belanda. (De Bandjarmasinsche Krijg halaman 162 & 163) ”.

Setelah Pengangkatan-pengangkatan dan persiapan-persiapan yang matang maka dikobarkanlah Perang Banjar pada tanggal 28 April 1859 dengan semboyan Beatip Beamal Fisabilillah secara serempak.

Jalannya peperangan terekam dalam beberapa tulisan berikut;

“ Sambil bertandak dan berdoa mereka menerobos sampai 10 langkah dari carre` ( formasi tempur berbentuk persegi empat ); meriam houwitser diisi lagi. “Tembak !!” , kedengaran dari mulut komandan, akan tetapi baik pipa houwitser maupun beberapa bedil macet. Beberapa orang musuh sekarang datang melalui houwitser masuk kedalam carre’: dengan pemimpinnya yang berpakaian kuning di muka sekali. Kopral Smit mendapat tusukan tombak pada saat akan memasang lagi isian bedil; van Halderen mendapat dua sabetan klewang yang mematikan pada saat akan memasang lagi pipa yang baru. Pistol kepunyaan van der Heijden juga macet, ketika ia akan menembak kepala penyerbu itu. Kepala yang gagah berani ini telah menerjangnya dan akan menekankan ujung tombak ke dadanya. Koch segera melompat, menangkis dengan pedang tusukan itu, akan tetapi ia sendiri terpanggang tusukan tombak dan keris, dan jatuh tersungkur”. (De Bandjermasinsche Krijg hal. 205)

“ Tentara (Hindia Belanda) telah mempertahankan kehormatan namanya, banyak perwira dan prajurit telah menunjukan keluarbiasaanya, banyak yang mengucurkan darahnya, banyak yang mengorbankan nyawanya.

Celakanya, terlalu sering !
Barisan menjadi tipis, rumah-rumah sakit dan kapal-kapal pengangkut diisi penuh prajurit yang kelelahan karena perang.

Terlalu sering kita ini wajib mengganti pasukan, dan menggantikannya dengan yang baru, yang didatangkan dari Jawa; bahkan demikian seringnya, sehingga kita dalam melukiskan jalannya peperangan segera berhenti memuat semua mutasi !!!”. (De Bandjermasinsche Krijg hal. 395 )

Perang yang tidak berkesudahan, kekalahan yang terus menerus, kematian prajurit maupun pimpinan tentara Hindia Belanda yang tiada henti, sungguh membuat bingung, lelah dan frustasi, sehingga dipersiapkanlah cara-cara yang sangat keji dan licik. Sebuah tipu muslihat yang sangat tidak pantas dipersiapkan untuk memperoleh suatu kemenangan dalam peperangan.

Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya Ratu Siti , Ibunda Sultan Hidayatullah, kemudian Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi beliau sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal semua itu hanya rekayasa & tipuan tanpa pernah Ratu Siti membuat surat tersebut. Ketika bertemu dengan Ibunda Ratu Siti ditangkaplah Sultan Hidayatullah dan diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya dilukiskan pihak belanda :

“ Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke Pulau Jawa dengan kapal perang ‘Sri Baginda Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan sial yang dirasakannya menghujat dalam, menusuk kalbu karena terjerat tipu daya. Seorang Raja yang pantas dikasihani daripada dibenci dan dibalas dendam, karena dia telah terperosok menjadi korban fitnah dan kelicikan yang keji setelah selama tiga tahun menentang kekuasaan kita (Hindia Belanda) dengan perang yang berkat kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin yang oleh rakyat dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi Raja Kesultanan yang sekarang telah dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda), bahkan dia sendiri dinyatakan sebagai seorang buronan dengan harga f 1000,- diatas kepalanya.

Hanya karena keberanian, keuletan angkatan darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil dipojokan dan terpaksa tunduk.
Itulah dia yang namanya :

Pangeran Hidajat Oellah

Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst, dst, dst….. “.

( Buku Expedities tegen de versteking van Pangeran Antasarie, gelegen aan de Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte halaman 10).

Dengan penangkapan Sultan ini maka berakhirlah peperangan besar yang terjadi, peperangan yang terjadi berikutnya dilukiskan oleh tentara Hindia Belanda sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil.

“Dengan Hidayat, pengganti sah dari Sultan Adam, rakyat yang memberontak itu kehilangan tonggak penunjangnya; dengan Hidayat, pemimpin Agama, para pemimpin agama kehilangan senjata yang paling ampuh untuk menghasut rakyat; oleh kepergian Hidayat, hilanglah semua khayalan untuk memulihkan kembali kebesaran dan kekuasaan Kerajaan Banjar, dengan kepergian Hidayat maka pemberontakan memasuki tahap terakhir” (De Bandjermasinsche krijg hal. 280)

“Dengan Hidayat hilanglah semua khayalan, hasrat suci yang berlebihan, pendorong semangat dan penyebab dari perang ini”(De Bandjermasinsche Krijg hal. 342) 

http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2008/02/11/sekilas-riwayat-hidup-pangeran-hidayatullah/

Selasa, Oktober 18, 2011

Acara Tahlilan Itu Bid'ah ?



Dengan menyebut nama Allah, dan dengan meyakini bahwa segala puji hanya milik Allah, serta dengan menghaturkan shalawat dan salam atas Junjungan Nabi Muhammad SAW, penyusun memulai catatan ini.

Sebelum penyusun melanjutkan lebih jauh, izinkan penyusun yang belum memiliki ilmu walau seujung kuku ini mengungkapkan motivasi di balik upaya penyusunan catatan kecil ini. Sebagai seorang aktifis jejaring sosial—utamanya facebook—yang dengan senang hati bersedia ikut merayakan euforia cyber-silaturrahim yang sedang melanda, penyusun yakin bahwa sebagian dari kita sesama pemilik akun jejaring sosial tentu berharap bisa mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dari teknologi yang satu ini. :)

Kendati demikian, tak jarang pula penyusun menjumpai kenyataan bahwa jejaring sosial kerap dipergunakan oleh sebagian kelompok sebagai wadah untuk menyerang kelompok lain. Memang, ini bisa dianggap sebagai sebuah hal yang sah-sah saja. Akan tetapi, entah mengapa, tatkala penyusun menemukan beberapa grup tertentu di facebook yang dimanfaatkan oleh sebagian kalangan untuk membid’ahkan hal-hal tertentu yang sudah berlaku secara umum di masyarakat nyata kita—dalam hal ini acara tahlilan—penyusun tergerak untuk ikut mempelajarinya lebih jauh. Dan, hasilnya, lahirlah catatan dengan judul yang sedikit menggelikan yang sekarang ada di hadapan teman-teman. :D

Baiklah. It’s time to be a little more serious now! :P

Sebagaimana yang telah penyusun singgung tadi, penyusun merasakan adanya dorongan untuk mempelajari persoalan bid’ah-tidaknya acara tahlilan ini ‘sedikit saja’ lebih jauh—sempat terpikir untuk menuliskan ‘selangkah’ tapi penyusun tidak yakin kalau catatan ini bisa mencapai kadar tersebut. T_T

Di salah satu bagian proses belajar tersebut tadi, tanpa sengaja penyusun dihadapkan pada buku Tarjamah Jamiush Shaghir karya K.H. Misbach. Tanpa sengaja dihadapkan? Apa maksudnya? Alkisah, jagoan pertama saya yang saat ini sudah berusia dua tahun tiga bulan, Muhammad Iyad Azka, senang sekali bermain-main dengan tumpukan buku yang ada di rak kecil milik saya—termasuk mushaf al-Qur’an yang ada di sana. Jujur, saya sering memarahinya tentang kebiasaannya tersebut—walau saya sadar kemarahan saya bisa berdampak buruk bagi saya dan dia: maafkan abah, nak.

Mungkin sebagian teman ada yang berpikir, “Ah… kenapa anak sekecil itu dimarahi kalau bermain buku? Biarkan saja! Itu tandanya anak itu cerdas!” Aamiiin… saya mengamini! Bahkan, dengan segenap kerendahan hati, saya memohon teman-teman untuk mendoakan Azka dan adiknya yang saat ini sudah berusia satu bulan setengah, Muhammad Tsaqif ‘Arsya, agar menjadi anak-anak shaleh yang cinta pada Allah dan Rasul-Nya, berbakti pada orangtua, agama dan negaranya, serta menjadi anak-anak yang cerdas melebihi abahnya. Aamiiin.

Memang, saya tidak memiliki alasan yang cukup untuk mencegah kesenangan Azka bermain dengan buku-buku. Masak sih capek merapikan buku bisa menjadi alasan? Nggak kan? Loh… kok ngelantur??? Hehehe… maaf….

Begini. Suatu hari, di tengah suka-citanya bermain buku-buku di rak itulah saya kemudian berkesempatan untuk kembali membuka Tarjamah Jamiush Shaghir dalam kurun beberapa tahun terakhir! Terima kasih, nak. YarhamukaLlah….

Sebagaimana yang penyusun tulis tadi, peristiwa ini terjadi di tengah proses belajar yang penyusun lakukan. Dan, segala puji hanya milik Allah, tak lama setelah membolak-balik halaman Tarjamah Jamiush Shaghir tersebut, penyusun menemukan halaman 26 yang membahas tentang bid’ah!

Jadi, mulai di bagian ini, izinkan penyusun menuliskan bahwa menurut para ulama, bid’ah adalah semua perilaku atau ibadah atau itikad yang tidak berlaku pada zaman Nabi SAW dan tidak berlaku pada zaman sahabat Nabi SAW. Singkatnya, bid’ah adalah lawan dari sunnah Nabi SAW. Lebih lanjut, para ulama fuqaha menjelaskan bahwa ada lima macam bid’ah.
  1. Bid’ah wajibah, seperti belajar ilmu nahwu dan berbagai ilmu lain yang dibutuhkan dalam memahami dan memahamkan ajaran agama Allah.
  2. Bid’ah muharramah, seperti itikadnya kaum Qadariyyah yang mengatakan bahwa amal perbuatan yang diusahakan manusia itu murni atas kekuasaan manusia itu sendiri, dan Allah sama sekali tidak ikut campur.
  3. Bid’ah mandubah, seperti mendirikan pondok-pondok pesantren, madrasah-madrasah, dan lain-lain.
  4. Bid’ah makruhah, seperti menghias masjid, merobek mushaf dan lain-lain.
  5. Bid’ah mubahah, seperti makan dengan garpu, macam-macam pakaian, menghias toko supaya banyak pembeli dan lain-lain.[i]
Teman-teman bisa membacanya sendiri lebih lanjut—walau penyusun yakin tidak sedikit dari teman-teman yang sudah hafal tentang apa yang dibahas di sana dalam bahasa aslinya!—namun, kembali penyusun meminta izin untuk mencoretkan pemahaman yang bisa penyusun simpulkan di catatan kecil ini.
Sesungguhnya, tidak banyak yang akan penyusun tuliskan. Hanya beberapa salinan hadits saja yang saya ambil dari riwayat duo Bukhari-Muslim.

Hadits pertama yang saya salinkan untuk teman-teman di sini adalah hadits nomor 539 dalam riwayat Bukhari-Muslim.


Bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia mendadak dan tidak sempat berwasiat. Tetapi aku menduga seandainya ia dapat berbicara (dan berwasiat), tentu ia akan bersedekah. Apakah ia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah SAW bersabda: “Ya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Dari hadits ini terdapat dalil, sepemahaman penyusun, bahwa kita yang masih hidup ‘diizinkan’—atau lebih tepatnya ‘disunnahkan’—untuk melakukan kebajikan sedekah atas nama orang yang sudah meninggal. Ini baru satu poin dari beberapa poin yang akan menjadikan pemahaman yang lebih baik bagi kita tentang bid’ah atau tidaknya acara tahlilan itu. Dengan kata lain, sedekah atas nama orang yang sudah meninggal itu bukan bid’ah! Setegas itu.
Selanjutnya penyusun salinkan hadits kedua yaitu hadits riwayat Bukhari dan Muslim dengan nomor 541.

Rasulullah SAW bersabda: “Setiap ruas tulang manusia wajib bersedekah setiap hari, di mana matahari terbit.” Selanjutnya beliau bersabda: “Berlaku adil antara dua orang adalah sedekah, membantu seseorang (yang kesulitan menaikkan barang) pada hewan tunggangannya, lalu ia menaikkannya ke atas punggung hewan tunggangan tersebut atau mengangkatkan barang-barangnya adalah sedekah.” Rasulullah SAW juga bersabda: “Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang dikerahkan menuju shalat adalah sedekah dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Ini adalah dalil yang salah satunya, menurut penyusun, menegaskan bahwa ‘perkataan yang baik adalah sedekah’. Seperti apakah ‘kalimah thoyyibah adalah sedekah’ yang dimaksud di sana?
Mungkin hadits ketiga yang penyusun salinkan dari hadits riwayat Bukhari-Muslim nomor 317 bisa menjawab pertanyaan tadi.

Bahwa fakir miskin Muhajirin datang menemui Rasulullah SAW dan berkata: “Orang-orang kaya telah pergi dengan derajat yang tinggi dan nikmat yang kekal.” Rasulullah bertanya: “Apa itu gerangan?” Mereka menjawab: “Mereka shalat seperti kami shalat, mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Tetapi mereka bersedekah sedang kami tidak sanggup, mereka mampu memerdekakan budak sementara kami tidak mampu.” Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang dapat membuat kalian mengejar (derajat) orang-orang yang mendahului kalian dan yang dapat membuat kalian mendahului (derajat) orang-orang yang sesudah kalian? (Sehingga) tidak ada seorangpun di antara kalian yang lebih utama kecuali ia melakukan seperti apa yang kalian lakukan?” Mereka menjawab: “Tentu ya Rasulullah.” Rasulullah SAW bersabda: “Kalian membaca tasbih, takbir, dan tahmid setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menganjurkan orang-orang fakir miskin muhajirin untuk bertasbih, bertakbir dan bertahmid di saat mereka ingin menandingi pahala sedekah orang-orang berada. Menurut penyusun, tentulah tasbih, takbir dan tahmid merupakan bagian dari ‘perkataan baik atau kalimah thoyyibah adalah sedekah’ sebagaimana yang disinggung dalam hadits 541 di atas.

Akhirnya, penyusun menyalinkan hadits riwayat Bukhari Muslim nomor 1548 sebagai hadits keempat dalam catatan kecil ini.

Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkahi lagi Maha Tinggi memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan (dalam jumlah) yang melebihi jumlah malaikat pencatat amal, dan mereka senantiasa mencari majelis-majelis zikir. Apabila mereka mendapati satu majelis zikir, maka mereka akan ikut duduk bersama mereka dan mengelilingi majelis tersebut dengan sayap-sayap mereka hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia. Apabila para peserta majelis telah berpencar, para malaikat itupun naik menuju langit. Rasulullah melanjutkan, lalu Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung bertanya kepada para malaikat tersebut, padahal Dia lebih mengetahui dari pada mereka: “Dari manakah kamu sekalian?” Mereka menjawab: “Kami datang dari tempat hamba-hamba-Mu di dunia yang sedang mensucikan, mengagungkan, membesarkan, memuji, dan memohon kepada Engkau.” Allah bertanya lagi: “Apa yang mereka mohonkan kepada-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka memohon surga-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Belum wahai Rabb kami.” Allah berfirman: “Apalagi jika seandainya mereka pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu berkata lagi: “Mereka juga memohon perlindungan kepada-Mu.” Allah bertanya: “Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku?” Para malaikat menjawab: “Dari neraka-Mu, wahai Rabb kami.” Allah bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat menjawab: “Belum.” Allah berfirman: “Apalagi jika seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat itu melanjutkan: “Dan mereka juga memohon ampunan dari-Mu wahai Rabb kami.” Allah berfirman: “Aku sudah mengampuni mereka dan sudah memberikan apa yang mereka minta dan aku juga telah memberikan perlindungan kepada mereka dari apa yang mereka takutkan.” Rasulullah melanjutkan lagi lalu para malaikat itu berkata: “Wahai Rabb kami! Di antara mereka terdapat si Fulan yaitu seorang yang penuh dosa yang kebetulan lewat lalu mampir duduk untuk ikut berzikir bersama mereka.” Rasulullah melanjutkan bahwa Allah menjawab: “Aku juga telah mengampuni si Fulan karena mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Hadits ini menjelaskan, menurut penyusun, bahwa berzikir bersama-sama itu adalah sunnah yang sangat dianjurkan.
Jadi, menurut penyusun, berdasarkan pada buku Tarjamah Jamiush Shaghir karya K.H. Misbach, berkumpul untuk berzikir bersama-sama dengan melafalkan kalimah thoyyibah semisal tasbih, takbir dan tahmid, dengan niat bersedekah kepada orang yang sudah meninggal sama sekali bukan bid’ah, melainkan sunnah yang sangat dianjurkan. WaLlahu a’lam.

Ada sekitar 1700 hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Pertanyaan saya, sudah berapa banyak diantaranya yang kita hafal? Pengakuan penyusun, masih bisa dihitung jari sebelah tangan.

Semoga catatan kecil ini bisa menambah wawasan kita semua, khususnya bagi diri penyusun pribadi. Aamiiin.

Penyusun menutup catatan ini dengan memohon ampunan Allah Yang Maha Agung, untuk penyusun pribadi, dan untuk teman-teman semua, serta untuk segenap umat muslim dan mukmin seluruhnya, laki-laki dan perempuan, yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


[i] Sumber: K.H. Misbach, Tarjamah Jamiush Shaghir, Mutiara Ilmu Surabaya, tanpa tahun.
http://www.facebook.com/notes/muhammad-yusuf-anas/acara-tahlilan-itu-bidah-ah-tenane/10150659165370214

Senin, Oktober 10, 2011

Kisah Nabi Uzair AS (Kisah Dalam Al Qur'an)

 
Allah s.w.t berfirman:

"Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: 'Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?', maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: 'Berapa lama kamu tinggal di sini ?' Ia menjawab: 'Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.' Allah berfirman: 'Sebenarnya kamu tinggal di sini selama seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledaimu itu (yang telah menjadi tulang-belulang): Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang- belulang keldai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.' Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: 'Saya yakin bahawa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.'" (QS. al-Baqarah: 259)


Yang popular menurut kaum salaf dan kaum khalaf bahawa Uzair adalah pahlawan dalam kisah ini yang diceritakan oleh Allah s.w.t. Dikatakan bahawa Uzair adalah seorang Nabi dari nabi-nabi Bani Israil. Dia-lah yang menjaga Taurat, lalu terjadilah peristiwa yang sangat mengagumkan padanya. Allah s.w.t telah mematikannya selama seratus tahun kemudian ia dibangkitkan kembali. Selama Uzair tidur satu abad penuh, terjadilah peperangan yang didalangi oleh Bakhtansir di mana ia membakar Taurat. Tidak ada sesuatu pun yang tersisa kecuali yang dijaga oleh kaum lelaki. Mukjizat yang terjadi pada Nabi Uzair adalah sumber fitnah yang luar biasa di tengah kaumnya.

Pada suatu hari, tampak bahawa cuaca sangat panas dan segala sesuatu merasa kehausan. Sementara itu, desa yang ditinggali oleh Uzair hari itu tampak tenang kerana sedang melalui musim panas di mana sedikit sekali aktiviti di dalamnya. Uzair berfikir bahawa kebunnya butuh untuk diairi. Kebun itu cukup jauh dan jalan menuju ke sana sangat berat dan disela- selai dengan kuburan. Sebelumnya, tempat itu adalah kota yang indah dan ramai di mana penghuninya cukup asyik tinggal di dalamnya lalu ia menjadi kota mati.

Uzair berfikir dalam hatinya bahawa pohon-pohon di kebunnya pasti merasakan kehausan lalu ia menetapkan untuk pergi memberinya minum. Hamba yang soleh dan salah seorang nabi dari Bani Israil ini pergi dari desanya. Matahari tampak masih baru memasuki waktu siang. Uzair menunggang keldainya dan memulai perjalanannya. Beliau tetap berjalan hingga sampai di kebun. Beliau mengetahui bahawa pohon-pohonnya tampak kehausan dan tanahnya tampak terbelah dan kering. Uzair menyirami kebunnya dan ia memetik dari kebun itu buah tin (sebahagian buah tin) dan mengambil pohon anggur. Beliau meletakkan buah tin di satu keranjang dan meletakkan buah anggur di keranjang yang lain. Kemudian ia kembali dari kebun sehingga keldai yang dibawanya berjalan di tengah-tengah terik matahari.

Di tengah-tengah perjalanan, Uzair berfikir tentang tugasnya yang harus dilakukan besok. Tugas pertama yang harus dilakukannya adalah mengeluarkan Taurat dari tempat persembunyiannya dan meletakkannya di tempat ibadah. Beliau berfikir untuk membawa makanan dan memikirkan tentang anaknya yang masih kecil, di mana beliau teringat oleh senyumannya yang manis, dan beliau pun terus berjalan dan semakin cepat. Beliau menginginkan keldainya untuk berjalan lebih cepat.

Lalu Uzair sampai di suatu kuburan. Udara panas saat itu semakin menyengat dan keldai tampak kepayahan. Tubuhnya diselimuti dengan keringat yang tampak menyala kerana tertimpa sinar matahari. Keldai itu pun mulai memperlambat langkahnya ketika sampai di kuburan. Uzair berkata kepada dirinya: Mungkin aku lebih baik berhenti sebentar untuk beristirahat, dan aku akan mengistirahatkan keldai. Lalu aku akan makan siang. Uzair turun dari keldainya di salah satu kuburan yang rosak dan sepi. Semua desa itu menjadi kuburan yang hancur dan sunyi. Uzair mengeluarkan piring yang dibawanya dan duduk di suatu naungan. Ia mengikat keldai di suatu dinding, lalu ia mengeluarkan sebahagian roti kering dan menaruhnya di sampingnya. Selanjutnya, ia memeras di piringnya anggur dan meletakkan roti yang kering itu di bawah perasan anggur. Uzair menyandarkan punggungnya di dinding dan agak menjulurkan kakinya. Uzair menunggu sampai roti itu tidak kering dan tidak keras. Kemudian Uzair mulai mengamati keadaan di sekelilinginya dan tampak keheningan dan kehancuran meliputi tempat itu: rumah- rumah hancur berantakan dan tampak tiang-tiang pun akan hancur, pohon-pohon sedikit saja terdapat di tempat itu yang tampak akan mati kerana kehausan, tulang-tulang yang mati yang dikuburkan di sana berubah menjadi tanah. Alhasil, keheningan menyeliputi tempat itu. Uzair merasakan betapa kerasnya kehancuran di situ dan ia bertanya dalam dirinya sendiri: bagaimana Allah s.w.t menghidupkan semua ini setelah kematiannya? "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?"

Uzair bertanya: bagaimana Allah s.w.t menghidupkan tulang-tulang ini setelah kematiannya, di mana ia berubah menjadi sesuatu yang menyerupai tanah. Uzair tidak meragukan bahawa Allah s.w.t mampu menghidupkan tulang-tulang ini, tetapi ia mengatakan yang demikian itu kerana rasa heran dan kekaguman. Belum lama Uzair mengatakan kalimatnya itu sehingga ia mati. Allah s.w.t mengutus malaikat maut padanya lalu rohnya dicabut sementara keldai yang dibawanya masih ada di tempatnya ketika melihat tuannya sudah tidak lagi berdaya. Keldai itu tetap di tempatnya sehingga matahari tenggelam lalu datanglah waktu Subuh. Keldai berusaha berpindah dari tempatnya tetapi ia terikat. Ia pun masih ada di tempatnya dan tidak bisa melepaskan ikatannya sehingga ia mati kelaparan.

Kemudian penduduk desa Uzair merasa gelisah dan mereka ramai-ramai mencari Uzair di kebunnya, tetapi di sana mereka tidak menemukannya. Mereka kembali ke desa dan tidak menemukannya. Lalu mereka menetapkan beberapa kelompok untuk mencarinya. Akhirnya, kelompok- kelompok ini mencari ke segala penjuru tetapi mereka tidak menemukan Uzair dan tidak menemukan keldainya. Kelompok-kelompok ini melewati kuburan yang di situ Uzair meninggal, namun mereka tidak berhenti di situ. Tampak bahawa di tempat itu hanya diliputi keheningan. Seandainya Uzair ada di sana nescaya mereka akan mendengar suaranya. Kemudian kuburan yang hancur ini sangat menakutkan bagi mereka, kerana itu mereka tidak mencari di dalamnya.

Lalu berlalulah hari demi hari, dan orang-orang putus asa dari mencari Uzair, dan anak-anaknya merasa bahawa mereka tidak akan melihat Uzair kedua kalinya dan isterinya mengetahui bahawa Uzair tidak mampu lagi memelihara anaknya dan menuangkan rasa cintanya kepada mereka sehingga isterinya itu menangis lama sekali. Sesuai dengan perjalanan waktu, maka air mata pun menjadi kering dan penderitaan makin berkurang. Akhirnya, manusia mulai melupakan Uzair dan mereka tetap menjalankan tugas mereka masing-masing. Dan berjalanlah tahun demi tahun dan masyarakat mulai melupakan Uzair kecuali anaknya yang paling kecil dan seorang wanita yang bekerja di rumah mereka di mana Uzair sangat cinta kepadanya. Usia wanita itu dua puluh tahun ketika Uzair keluar dari desa.

Berlalulah sepuluh tahun, dua puluh tahun, delapan puluh tahun, sembilan puluh tahun sehingga sampai satu abad penuh. Allah s.w.t berkehendak untuk membangkitkan Uzair kembali. Allah s.w.t mengutus seorang malaikat yang meletakkan cahaya pada hati Uzair sehingga ia melihat bagaimana Allah s.w.t menghidupkan orang-orang mati. Uzair telah mati selama seratus tahun. Meskipun demikian, ia dapat berubah dari tanah menjadi tulang, menjadi daging, dan kemudian menjadi kulit. Allah s.w.t membangkitkan di dalamnya kehidupan dengan perintah-Nya sehingga ia mampu bangkit dan duduk di tempatnya dan memperhatikan dengan kedua matanya apa yang terjadi di sekelilingnya.

Uzair bangun dari kematian yang dijalaninya selama seratus tahun. Matanya mulai memandang apa yang ada di sekelilingnya lalu ia melihat kuburan di sekitarnya. Ia mengingat-ingat bahawa ia telah tertidur. Ia kembali dari kebunnya ke desa lalu tertidur di kuburan itu. Inilah peristiwa yang dialaminya. Matahari bersiap-siap untuk tenggelam sementara ia masih tertidur di waktu Dzuhur. Uzair berkata dalam dirinya: Aku tertidur cukup lama. Barangkali sejak Dzuhur sampai Maghrib. Malaikat yang diutus oleh Allah s.w.t membangunkannya dan bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?"

Malaikat bertanya kepadanya: "Berapa jam engkau tidur?" Uzair menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Malaikat yang mulia itu berkata kepadanya: "Sebenarnya kamu tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. " Engkau tidur selama seratus tahun. Allah s.w.t mematikanmu lalu menghidupkanmu agar engkau mengetahui jawapan dari pertanyaanmu ketika engkau merasa heran dari kebangkitan yang dialami oleh orang-orang yang mati. Uzair merasakan kehairanan yang luar biasa sehingga tumbuhlah keimanan pada dirinya terhadap kekuasaan al-Khaliq (Sang Pencipta). Malaikat berkata sambil menunjuk makanan Uzair: "Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah."

Uzair melihat buah tin itu lalu ia mendapatinya seperti semula di mana warnanya tidak berubah dan rasanya pun tidak berubah. Telah berlalu seratus tahun tetapi bagaimana mungkin makanan itu tidak berubah? Lalu Uzair melihat piring yang di situ ia memeras buah anggur dan meletakkan di dalamnya roti yang kering, dan ia mendapatinya seperti semula di mana minuman anggur itu masih layak untuk diminum dan roti pun masih tampak seperti semula, di mana kerasnya dan keringnya roti itu dapat dihilangkan ketika dicampur dengan perasan anggur. Uzair merasakan kehairanan yang luar biasa, bagaimana mungkin seratus tahun terjadi sementara perasan anggur itu tetap seperti semula dan tidak berubah. Malaikat merasa bahawa seakan-akan Uzair masih belum percaya atas apa yang dikatakannya. kerana itu, malaikat menunjuk keldainya sambil berkata: "Dan lihatlah kepada keledaimu itu (yang telah menjadi tulang- belulang)."

Uzair pun melihat ke keldainya tetapi ia tidak mendapati kecuali ia tanah dari tulang-tulang keldainya. Malaikat berkata kepadanya: "Apakah engkau ingin melihat bagaimana Allah s.w.t membangkitkan orang-orang yang mati? Lihatlah ke tanah yang di situ terletak keledaimu." Kemudian malaikat memanggil tulang-tulang keldai itu lalu atom-atom tanah itu memenuhi panggilan malaikat sehingga ia mulai berkumpul dan bergerak dari setiap arah lalu terbentuklah tulang-tulang. Malaikat memerintahkan otot-otot saraf daging untuk bersatu sehingga daging melekat pada tulang-tulang keldai. Sementara itu, Uzair memperhatikan semua proses itu. Akhirnya, terbentuklah tulang dan tumbuh di atasnya kulit dan rambut.

Alhasil, keldai itu kembali seperti semula setelah menjalani kematian. Malaikat memerintahkan agar roh keldai itu kembali kepadanya dan keldai pun bangkit dan berdiri. Ia mulai mengangkat ekornya dan bersuara. Uzair menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t tersebut terjadi di depannya. Ia melihat bagaimana mukjizat Allah s.w.t yang berupa kebangkitan orang-orang yang mati setelah mereka menjadi tulang belulang dan tanah. Setelah melihat mukjizat yang terjadi di depannya, Uzair berkata: "Saya yakin bahawa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. "

Uzair bangkit dan menunggangi keldainya menuju desanya. Allah s.w.t berkehendak untuk menjadikan Uzair sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya kepada masyarakat dan mukjizat yang hidup yang menjadi saksi atas kebenaran kebangkitan dan hari kiamat. Uzair memasuki desanya pada waktu Maghrib. Ia tidak percaya melihat perubahan yang terjadi di desanya di mana rumah-rumah dan jalan-jalan sudah berubah, begitu juga manusia dan anak-anak yang ditemuinya. Tak seorang pun di situ yang mengenalinya. sebaliknya, ia pun tidak mengenali mereka. Uzair meninggalkan desanya saat beliau berusia empat puluh tahun dan kembali kepadanya dan usianya masih empat puluh tahun. Tetapi desanya sudah menjalani waktu seratus tahun sehingga rumah-rumah telah hancur dan jalan-jalan pun telah berubah dan wajah-wajah baru menghiasi tempat itu.

Uzair berkata dalam dirinya: Aku akan mencari seorang lelaki tua atau perempuan tua yang masih mengingat aku. Uzair terus mencari sehingga ia menemukan pembantunya yang ditinggalnya saat berusia dua puluh tahun. Kini, usia pembantu itu mencapai seratus dua puluh tahun di mana kekuatannya sudah sangat merosot dan giginya sudah ompong dan matanya sudah lemah. Uzair bertanya kepadanya: "Wahai perempuan yang baik, di mana rumah Uzair." Wanita itu menangis dan berkata: "Tak seorang pun yang mengingatinya. Ia telah keluar sejak seratus tahun dan tidak kembali lagi. Semoga Allah s.w.t merahmatinya." Uzair berkata kepada wanita itu: "Sungguh aku adalah Uzair. Tidakkah engkau mengenal aku? Allah s.w.t telah mematikan aku selama seratus tahun dan telah membangkitkan aku dari kematian." wanita itu kehairanan dan tidak mempercayai omongan itu. Wanita itu berkata: "Uzair adalah seseorang yang doanya dikabulkan. Kalau kamu memang Uzair, maka berdoalah kepada Allah s.w.t agar aku dapat melihat sehingga aku dapat berjalan dan mengenalmu." Lalu Uzair berdoa untuk wanita itu sehingga Allah s.w.t mengembalikan penglihatan matanya dan kekuatannya. Wanita itu pun mengenali Uzair. Lalu ia segera berlari di negeri itu dan berteriak: "Sungguh Uzair telah kembali." Mendengar teriakan wanita itu, masyarakat bingung dan merasa heran. Mereka mengira bahawa wanita itu telah gila.

Kemudian diadakan pertemuan yang dihadiri orang-orang pandai dan para ulama. Dalam majlis itu juga dihadiri oleh cucu Uzair di mana ayahnya telah meninggal dan si cucu itu telah berusia tujuh puluh tahun sedangkan datuknya, Uzair, masih berusia empat puluh tahun. Di majlis itu mereka mendengarnya kisah Uzair lalu mereka tidak mengetahui apakah mereka akan mempercayainya atau mengingkarinya. Salah seorang yang pandai bertanya kepada Uzair: "Kami mendengar dari ayah- ayah kami dan kakek-kakek kami bahawa Uzair adalah seorang Nabi dan ia mampu menghafal Taurat. Sungguh Taurat telah hilang dari kita dalam peperangan Bukhtunnashr di mana mereka membakarnya dan membunuh para ulama dan para pembaca Kitab suci itu. Ini terjadi seratus tahun lalu yang engkau katakan bahawa engkau menjalani kematian atau engkau tidur. Seandainya engkau menghafal Taurat, nescaya kami akan percaya bahawa engkau adalah Uzair."

Uzair mengetahui bahawa tak seorang pun dari Bani Israil yang mampu menghafal Taurat. Uzair telah menyembunyikan Taurat itu dari usaha musuh untuk menghancurkannya. Uzair duduk di bawah naungan pohon sedangkan Bani Israil berada di sekitarnya. Lalu Uzair menghapusnya huruf demi huruf sampai selesai lalu ia berkata dalam dirinya: Aku sekarang akan mengeluarkan Taurat yang telah aku simpan. Uzair pergi ke suatu tempat lalu ia mengeluarkan Taurat di mana kertas yang terisi Taurat itu telah rosak. Ia mengetahui mengapa Allah s.w.t mematikannya selama seratus tahun dan membangkitkannya kembali. Kemudian tersebarlah berita tentang mukjizat Uzair di tengah-tengah Bani Israil. Mukjizat tersebut membawa fitnah yang besar bagi kaumnya. Sebahagian kaumnya mengklaim bahawa Uzair adalah anak Allah. Allah s.w.t berfirman:

"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair adalah anak Allah.'" (QS. al- Baqarah: 30)


Mula-mula mereka membandingkan antara Musa dan Uzair dan mereka berkata: "Musa tidak mampu mendatangkan Taurat kepada kita kecuali di dalam kitab sedangkan Uzair mampu mendatangkannya tanpa melalui kitab." Setelah perbandingan yang salah ini, mereka menyimpulkan sesuatu yang keliru di mana mereka menisbatkan kepada nabi mereka hal yang sangat tidak benar. Mereka mengklaim bahawa dia adalah anak Tuhan. Maha Suci Allah dari semua itu:

"Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia." (QS. Maryam: 35).


http://harmoni-my.org/arkib/kisahnabi/index.htm#page=mengapakisahkisahalquran.htm

Kisah Nabi Khaidir AS


Salah satu kisah Al-Quran yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah s.w.t memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:

"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS. al-Kahfi: 60)


Kalimat yang samar menunjukkan bahawa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma' al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma' al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misteri dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahawa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahawa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahawa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahawa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.

Seandainya tempat itu harus disebutkan nescaya Allah s.w.t akan rnenyebutkannya. Namun Al-Quran al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Quran tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Quran tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu kerana adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, kerana biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi kerana biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.

Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Quran sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Quran sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah s.w.t mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:

"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65)


Al-Quran al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya. Nabi Musa adalah seseorang yang diajak berbicara langsung oleh Allah s.w.t dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Quran meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahawa ia adalah Khidir as.

Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah s.w.t tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahawa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mahu ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya. Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak- gerinya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebahagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebahagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki erti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan kurnia ilmunya dari sisi Allah s.w.t.

Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bahagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Quran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab- mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah s.w.t yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada "cemburu" dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul kerana pengaruh kisah ini.

Para ulama berbeza pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebahagian mereka mengatakan bahawa ia seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t. Sebahagian lagi mengatakan bahawa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahawa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis-hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahawa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba-hamba Allah s.w.t yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk masalah yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al-Quran.

Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah s.w.t dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: "Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?" Dengan nada emosi, Musa menjawab: "Tidak ada."

Allah s.w.t tidak setuju dengan jawapan Musa. Lalu Allah s.w.t mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: "Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah s.w.t meletakkan ilmu-Nya?" Musa mengetahui bahawa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: "Sesungguhnya Allah s.w.t mempunyai seorang hamba yang berada di majma' al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu." Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim.

Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan soleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.

Musa berkata kepada pembantunya: "Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu." Pemuda atau pembantunya berkata: "Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat." Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah s.w.t kepada Musa tentang tempat pertemuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahawa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: "Cuba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini."

Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa kerana lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: "Demikianlah yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahawa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menyelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.

Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Quran: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. "

Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fizik atau lahiriah. Allah s.w.t berfirman:

"Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: 'Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih kerana perjalanan kita ini.' Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.' Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)


Bukhari mengatakan bahawa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sejadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: "Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Musa menjawab: "Aku adalah Musa." Khidir berkata: "Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Musa berkata: "Dari mana kamu mengenal saya?" Khidir menjawab: "Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?" Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh kurnia dari-Nya." Khidir berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku."

Kita ingin memperhatikan sejenak perbezaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawapan Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahawa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahawa Khidir berkata kepada Musa: "Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangkali engkau akan melihat dalam tindakan- tindakanku yang tidak engkau fahami sebab-sebabnya. Oleh kerana itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku." Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahawa insya-Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.

Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah s.w.t, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahawa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah s.w.t yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Quran menyatakan bahawa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang soleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang soleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah firman Allah s.w.t dalam surah al-Kahfi:

"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?' Musa berkata: 'Insya-Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS. al-Kahfi: 66-70)


Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mahu mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya berserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melubangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.

Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berfikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah s.w.t sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merosak perahu itu dan melubanginya." Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: "Apakah engkau melubanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela." Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah s.w.t itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahawa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia kerana Musa tidak mampu lagi bersabar. Musa meminta maaf kepada Khidir kerana ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.

Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah s.w.t ini membunuh anak kecil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah s.w.t itu kembali mengingatkan Musa bahawa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya kerana lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mahu memberi dan tidak mahu menjamu mereka.

Kemudian datanglah waktu petang. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat hairan melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: "Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu." Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah s.w.t itu berkata kepadanya: "Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku." Hamba Allah s.w.t itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahawa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.

Kemudian hamba Allah s.w.t itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang soleh itu—yang membuat Musa bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatif sendiri, ia hanya sekadar menjadi jambatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahawa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Musa laksana setitis air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah s.w.t itu hanya memperoleh ilmu dari Allah s.w.t sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah s.w.t berfirman:

"Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melubanginya. Musa berkata: 'Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia (Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah berkata: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa berkata: 'Janganlah kamu menghukum aku kerana kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.' Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan kerana dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahawa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?' Musa berkata: 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.' Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau kamu mau, nescaya kamu mengambil upah untuk itu.' Khidir berkata: 'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merosakkan bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahawa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)


Hamba soleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahawa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahawa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahawa usaha melubangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu- perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rosak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahawa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka kerana Allah s.w.t akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahawa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik ternyata justru di balik itu terdapat keburukan.

Mula-mula Nabi Allah s.w.t Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah s.w.t tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah s.w.t itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah s.w.t yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Selanjutnya, Musa kembali menemui pembantunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat kerana di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia kerana di balik itu terdapat rahmat Allah s.w.t yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahawa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logik biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah s.w.t wahyukan kepada mereka.

Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Majoriti kaum sufi berpendapat bahawa hamba Allah s.w.t ini dari wali-wali Allah s.w.t. Allah s.w.t telah memberinya sebahagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebahagian ulama berpendapat bahawa hamba soleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung penyataannya ulama- ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al- Quran yang menunjukkan kenabiannya.

Pertama, firman-Nya:

"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-ham- ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."


Kedua, perkataan Musa kepadanya:

"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya-Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS. al-Kahfi: 66-70)


Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdialog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawapan yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka bererti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.

Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah s.w.t dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum kerana terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kecil itu sebagai bukti kenabiannya.

Keempat, perkataan Khidir kepada Musa:

"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)

Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah s.w.t dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahawa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahawa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah s.w.t.

Salah satu pernyataan Khidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa, manusia akan diseksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: "Musa berkata kepada Khidir: "Berilah aku nasihat." Khidir menjawab: "Mudah-mudahan Allah s.w.t memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya." Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya. Perbezaan pendapat ini berhujung pangkal kepada anggapan para ulama bahawa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi kerana beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Quran yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah s.w.t sebahagian ilmu laduni.

Barangkali kesamaran seputar peribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi kerana ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustaz baginya untuk beberapa waktu.

http://harmoni-my.org/arkib/kisahnabi/index.htm#page=mengapakisahkisahalquran.htm

Jumat, Oktober 07, 2011

Kisah Raja Thalut (Raja Bani Israil)


Ayat-ayat Al Qur'an memberi gambaran kepada kita tentang kondisi Bani Israel dalam satu masa kehidupannya di tanah suci Palestina. Dimana saat itu mereka berada dalam masa-masa yang kelam; teraniaya dan menjadi tujuan penyerangan musuh-musuhnya. Sialnya, musuh-musuh mereka dapat mencuri "Tâbut"yang di dalamnya Allah telah memberikan perasaan tenang kepada mereka. Tabut itu merupakan satu-satunya peninggalan dari keluarga Musa dan keluarga Harun As.

Bani Israel sepenuhnya merasakan kehinaan dan penderitaan ini. Semua orang menderita, tak terkecuali para pemimpin mereka. Maka dalam diri mereka timbul niat untuk merubah keadaan ini, mereka memimpikan kemenangan. Mereka sudah bosan menjadi bangsa yang ditindas. Dalam pandangan mereka hanya ada satu jalan untuk meraih itu; perang sampai titik darah penghabisan.

Dari itu para pemimpin Bani Israel mendatangi Nabi mereka, mereka meminta dipilihkan seseorang diantara Bani Israel menjadi pemimpin perang, mampu memberikan kemenangan kepada mereka dan mengalahkan musuh-musuh Bani Israel.
 
"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah." Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.”(QS. Al-Baqarah:246)

Nabi mereka mengetahui ciri dari tabiat Bani Israel. Jika mereka diperintahkan untuk berperang, niscaya sebagian besar dari mereka tidak akan mau pergi ke medan perang. Nabi mereka menjawab: "mungkin saja jika kalian diwajibkan berperang, kalian tidak akan melakukannya?" perhatikan dialog yang dikatakan Nabi mereka, Al Qur'an mengisyaratkan pemahaman Nabi mereka kepada sifat-sifat dasar yang ada dalam diri Bani Israel.

Bani Israel menyanggah perkataan Nabi itu, lalu mereka berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak akan lari dari medan perang jika perintah untuk berperang datang. Dan mereka memberi alasan bahwa yang menjadikan Bani Israel enggan berperang selama ini karena tidak adanya orang yang memimpin mereka. Alasannya lainnya yang mereka sampaikan kepada Nabinya, bahwa mereka sudah tidak kuat lagi menerima kondisi tertekan dan kekalahan yang selama ini mereka alami. Oleh karena itu mereka tidak mungkin lari dari peperangan.
 
Ketika mendengar penjelasan dan alasan yang logis dari umatnya, Nabi mereka segera berdoa kepada Allah untuk mengabulkan permohonan mereka. Allah mengabulkan keinginan Bani Israel, Ia mewahyukan kepada Nabi itu bahwa pemimpin yang mereka inginkan itu adalah Thâlut. Dialah pemimpin yang Allah pilih untuk menuju kemenangan yang diimpikan Bani Israel.

Tetapi apa yang terjadi? Bani Israel menolak Thâlut sebagai pemimpin mereka. Mereka menginginkan seorang pemimpin dari kalangan bangsawan Bani Israel seperti tradisi yang ada selama ini. Bukan Thalut yang hanya seorang rakyat miskin, dan tidak memiliki harta benda yang setara dengan para bangsawan. "Bagaimana mungkin ia menjadi raja kami, sementara kami lebih berhak untuk menjadi raja. Ia tidak punya harta benda yang banyak!" begitulah ucapan yang keluar dari Bani Israel.
 
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah:247)

Nabi mereka cukup terkejut dengan pernyataan itu, padahal mereka tidak meminta raja dari keturunan bangsawan. Maka dengan sabar Nabi menjelaskan kepribadian yang ada dalam diri Thalut. Bahwa ia adalah seseorang yang berhak menjadi raja yang layak bagi mereka dalam timbangan Tuhan, itu memang dibutuhkan rasa keimanan untuk menerimanya. Allah memilihnya diantara Bani Israel disebabkan Thalut memilili kelebihan yang menonjol dari ilmu pengetahuan dan kekuatan fisik yang memadai untuk menjadi panglima perang. 
 
Lalu apa yang menjadikan kalian (Bani Israel) menolaknya? Sesungguhnya Allah memberikan kekuasan kepada siapa yang dikehendakinya. Dengan penjelasan ini, Nabi mereka ingin mengalahkan logika yang ada dalam jiwa Bani Israel. Oleh karena itu ia jelaskan kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri Thalut dan terpilihnya Thalut atas kehendak Allah semata. Kemudian untuk menguatkan kata-katanya, Nabi mereka berkata, "sesungguhnya tanda-tanda ia akan menjadi raja bagi kalian adalah kembalinya Tabut kepada kalian yang dibawa oleh seorang malaikat." 

“Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun .”(QS. Al-Baqarah:248).

Tabut yang telah hilang dicuri oleh musuh Bani Israel akan kembali kepada mereka. Tanpa ada peperangan dengan musuh-musuh Bani Israel. Allah telah mengutus seorang malaikat untuk mengambil Tabut itu dan membawanya kepada mereka. Ini merupakan bukti dan petunjuk bahwa Allah dan para malaikat meridhai Thalut sebagai pemimpin mereka. Janji yang diucapkan Nabi mereka benar adanya, tak lama kemudian seorang malaikat datang kepada mereka. Akhirnya Thalut menjadi raja Bani Israel dan memerintahkan mereka untuk bersiap-siap berperang.

Di tengah perjalanan menuju medan perang, Thalut yang kini menjadi pemimpin mereka memberi pesan bahwa Allah akan menguji mereka dengan sebuah sungai. "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku."(QS. Al-Baqarah:249) Thalut hanya membolehkan meminumnya seteguk saja dan diambil dari tangan. Sekedar menghilangkan rasa haus dan membahasi bibir yang kering.

Tetapi ketika mereka sampai ke tepi sungai, kebanyakan dari mereka melanggar perintah Thalut. Kecuali sedikit saja yang tetap setia kepada Thalut. Thalut mengambil inisiatif untuk meninggalkan mereka yang melanggar perintahnya, dan mengajak pasukannya yang sedikit untuk bergegas ke medan perang.

Saat tiba di medan perang, tentaranya yang sedikit itu merasa ngeri dan takut untuk melawan musuh-musuh mereka yang berjumlah besar. Pasukan musuh yang berjumlah besar itu berada di bawah kepemimpinan Jalut (Goliat). Pasukan Bani Israel berkata kepada Thalut: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya."(QS. Al-Baqarah:249) lalu mereka pun pergi meninggalkan medan perang. Tinggallah di sana Thalut dan beberapa orang saja dari tentaranya. Mereka yang tetap itu adalah orang-orang yang meyakini akan bertemu Allah, mengharap surga dan segala kenikmatannya.

Melihat kondisi seperti itu, Thalut memberikan kata-kata yang memberi ketentraman kepada pasukannya: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."(QS. Al-Baqarah:249) Saat memasuki peperangan Thalut berdoa kepada Allah dengan khusyu: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir."(QS. Al-Baqarah:250)

Diantara "orang-orang sabar" yang tetap bersama Thalut adalah Nabi Daud As. Saat itu ia belum diangkat menjadi Nabi dan belum menjadi raja. Ia diangkat menjadi Nabi dan menjadi raja Bani Israel setelah peperangan ini. Dengan gagah berani ia maju kebarisan dimana Jalut berada dan kemudian membunuhnya. Dan setelah perang ini Daud diangkat menjadi raja Bani Israel dan dikaruniai ilmu yang banyak. 
 
”Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya ."(QS. Al-Baqarah:251)

Pasukan Thalut kembali ke negeri Palestina dengan kemenangan. Tetapi kemenangan ini tercoreng oleh ulah sebagian pasukan Bani Israel, yaitu melanggar perintah Thalut dan lari dari medan perang.

Saya Heran

Saya heran terhadap orang yang mengetahui mati, tetapi tak acuh terhadapnya. 
Saya heran terhadap orang yang mengetahui bahwa dunia akan binasa, tetapi ia tetap senang kepadanya. 
Saya heran terhadap orang yang mengetahui kalau segala sesuatu berlaku menurut qudrat (Allah), tetapi ia sengsara dengannya. 
Saya heran terhadap orang mengetahui adanya hisab (di akhirat), tetapi ia tetap tenggelam di dalam harta. 
Saya heran terhadap orang yang mengetahui neraka (sebagai tempat siksa), tetapi ia senang berbuat dosa. 
Saya heran terhadap orang yang mengetahui surga (sebagai tempat nikmat), tetapi ia lebih mencintai kehidupan dunia. 
Saya heran terhadap orang mengetahui setan (sebagai musuhnya), tetapi ia mengikutinya.
(Utsman bin Affan r.a.)

Rabu, Oktober 05, 2011

Ilmu atau Harta ?


Dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Membaca Al Qur’an itu amal orang-orang yang di lindungi, Shalat itu amal orang-orang yang tak berdaya, puasa itu amal orang miskin, tasbih itu amal orang perempuan, sedekah itu amal orang yng murah hati. Dan tafakkur itu orang yang lemah. Maukah Ku tunjukkan kepada kalian amal para pahlawan?” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah amal pahlawan itu?”

Beliau Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “Mereka menuntut ilmu, karena ia adalah cahaya orang mukmin di dunia dan di akherat.”

Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda, “Aku adalah kota ilmu sedangkan Ali adalah pintunya.”

Ketika kaum khawarij mendengar hadits diatas, mereka membenci Sayyidina Ali Kw dan berkumpullah sepuluh orang pemuka mereka. Mereka berkata,

“Kita akan menanyakan satu masalah dan melihat bagaimana Ali menjawabnya. Seandainya ia menjawab masing-masing dari kita dengan jawaban lain, tahulah kita bahwa ia orang alim sebagaimana di katakan oleh Nabi SAW.”

Seorang dari mereka datang kepada Sayyidina Ali dan bertanya, “Hai Ali mana yang lebih baik, ilmu atau harta?”
Sayyidina Ali Kw menjawab,”Ilmu lebih baik daripada harta.”
“Dengan dalil apa?” tanya orang itu.
“Ilmu itu warisan para Nabi dan harta itu warisan Qarun, Syaddad, Fir’aun, dan lainnya.” jawab Sayyidina Ali. Orang itupun pergi.

Datang lagi yang lainnya, lalu bertanya seperti rekannya yang pertama. Sayyidina Ali Kw menjawab,”Ilmu lebih baik daripada harta.”
“Dengan dalil apa?” tanya orang itu.
Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu menjagamu sedang engkau menjaga harta.” Kemudian dia juga pergi.

Datang lagi orang yang ketiga, sambil bertanya apa yang di tanyakan teman sebelumnya. Sayyidina Ali Kw menjawab,”Ilmu lebih baik daripada harta.” “Dengan dalil apa?” tanya orang itu.
Sayyidina Ali menjawab, “Pemilik harta mempunyai banyak musuh dan pemilik ilmu mempunyai banyak teman.” Orang ketiga pergi.

Datang lagi orang yang lain, lalu bertanya, “Mana yang lebih baik, ilmu atau harta?” Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu lebih baik daripada harta.”
Orang itu bertanya, “Dengan dalil apa?”
Sayyidina Ali menjawab, “Apabila kau belanjakan hartamu, ia akan berkurang dan jika kau amalkan ilmu mu ia akan bertambah.” Kemudian pergilah orang itu.

Datang lagi orang yang lain, lalu bertanya, “Mana yang lebih baik, ilmu atau harta?” Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu lebih baik daripada harta.”
Orang itu bertanya, “Dengan dalil apa?”
Sayyidina Ali menjawab,”Pemilik harta bisa di panggil si pelit dan menjadi hina, sedangkan pemilik ilmu di panggil dengan sebutan agung dan mulia.” Orang tersebut kemudian pergi.

Datang lagi orang yang lain, lalu bertanya, “Mana yang lebih baik, ilmu atau harta?” Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu lebih baik daripada harta.”
Orang itu bertanya, “Dengan dalil apa?”
Sayyidina Ali menjawab, “Pemilik harta akan di hisab pada hari kiamat, sedangkan pemilik ilmu akan memberi syafaat pada hari kiamat.”

Datang lagi orang yang lainnya, lalu bertanya sebagaimana teman-teman sebelumnya, “Mana yang lebih baik, ilmu atau harta?” Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu lebih baik daripada harta.”
Orang itu bertanya, “Dengan dalil apa?”
Sayyidina Ali menjawab,”Harta itu makin lama di diamkan makin bertambah usang, sedangkan ilmu tidak bisa lapuk dan usang.”

Datang lagi orang yang lain, lalu bertanya, “Mana yang lebih baik, ilmu atau harta?” Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu lebih baik daripada harta.”
Orang itu bertanya, “Dengan dalil apa?”
Sayyidina Ali menjawab,”Harta bisa membuat hati menjadi keras, sedang ilmu itu menerangi hati.”

Datang lagi orang yang lain, lalu bertanya, “Mana yang lebih baik, ilmu atau harta?” Sayyidina Ali menjawab, “Ilmu lebih baik daripada harta.”
Orang itu bertanya, “Dengan dalil apa?”
Sayyidina Ali menjawab,”Pemilik harta di katakan sebagai pemilik dengan sebab harta, sedangkan orang yang berilmu mengaku sebagai Hamba Allah.”

“Andaikata mereka bertanya tentang ini, niscaya akan ku jawab dengan jawaban yang lain selama aku masih hidup.” Sayyidina Ali berujar.
Kemudian datanglah semua orang yang mengajukan pertanyaan tadi lalu mereka menyerah dan mengakui kealiman Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib Karramallahu Wajhah..

Sumber Kitab Mawa’idul Usfuriyah. Karya Asy Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al Usfuri.
http://arroudloh.wordpress.com/2010/05/13/lebih-mulya-ilmu-atau-harta-jawaban-sayyidina-ali-bin-abi-thalib-k-w/
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...