Rabu, Juni 06, 2012

Riwayat Datu Nuraya


Tak banyak memang masyarakat yang mengenal Datu Nuraya yang mempunyai nama Syekh abdul Mu'in (sebagian riwayat menyebutkan nama beliau yang sebenarnya adalah Syekh Abdul jabbar) atau juga Syeikh Abdurrauf tetapi riwayat  tentang Datu Nuraya masih tersimpan dengan rapi dalam cerita masyarakat sehari hari khususnya didaerah Tatakan Rantau Kabupaten Tapin.

Siapa sebenarnya Datu Nuraya dan apakah semasa hidupnya dia memang memiliki tubuh yang besar bagai raksasa hingga makamnya mencapai 50 meter lebih ?...itulah misterinya,namun dari cerita cerita yang berkembang disana disebut sebut Datu Nuraya memang memiliki tubuh yang teramat besar,ihwal legenda ini seperti pd kisah terdahulu tentang Datu Suban, beliau adalah seorang guru dari sekalian Datu Datu yang ada di Rantau,seorang guru yang miskin harta tapi sangat dalam dan tinggi ilmu tasawufnya serta dikenal sebagai orang yg kasyaf,tinggalnya di munggu tayuh tiwadak gumpa tatakan dekat liang macan.

Pada saat lebaran atau hari raya Datu suban yang pada saat itu bersama para muridnya ketika mereka sedang asyik asyiknya menikmati makanan yang disediakan oleh tuan rumah,tiba tiba datang seorang yang bertubuh sanagat besar,serta merta mereka terkejut dan segera mengambil tombak dan parang untuk menghadang orang besar tsb.

 "Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.."kata orang besar tsb
 "Waalaykum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh"jawab para datu

lalu Datu suban menerangkan kepada para datu yang hadir bahwa orang yang datang sambi memberi salam Insya Allah akan berniat baik.

"Maaf siapa saudara yang datang dan dari mana asal saudara serta apa maksud saudara?"tanya Datu Suban,anehnya si raksasa tersebut menjawab dengan zikir La Ilaaha Illallah,dan zikir tersebut diulang tiap kali Datu suban bertanya sampai 7 kali,kemudian orang tersebut ambruk ketanah,lalu para Datu menghampiri orang itu dan memeriksanya,ternyata orang tsb sudah meninggal dunia,maka serempak para datu mengucapkan innaa lillahi wainna ilahi rajiuun'

Melihat keadaan tersebut para datu tadi bingung bagaimana memandikannya dan menguburkannya,untuk mengangkat saja jadi masalah,apalagi pada waktu itu kemarau panjang,biasanya tanah sangat keras sedangkan lubang untuk kuburan harus dibuat sangat panjang dan lebar,dan untuk memandikannya diperlukan air yang sangat banyak,konon pada saat para datu kebingungan tiba tiba hujan lebat turun dengan derasnya dan ketika mereka mengangkat tubuh tersebut sangatlah ringannya seperti sehelai kapas,serentak para datu berseru "Subhanallah"

Sebelum para datu mewaradunya (membersihkan) mayat itu,datu suban menemukan sebuah selepang (tas) dari dalam pakaiannya,setelah dibuka ternyata didalamnya terdapat sebuah kitab yg sangat terkenal kini dengan nama kitab barencong,para datu berbagi tugas ada yg memandikannya,ada yg mencari batu gunung untuk nisan dan ada yg membikin lubang untuk kuburan tsb,konon lubang yg digali tidak mencukupi untuk mengubur terpaksa orang tsb dilipat hamzah kakinya.

Tepat 7 hari maarwahi orang besar tsb maka berkumpullah semua datu dirumah Datu Taming Karsa disimpang tiga tandui baruh hariyung yang dinamakan Pamatang Gintungan  Misan Batu ,disanalah Datu suban mulai membuka kitab peninggalan yg didapat dari orang besar tsb dengan mengucap bismillahir rahmanir rahim lalu dibuka kitab tsb oleh datu Suban  lembar demi lembar hingga selesai,ternyata isi kitab tsb mengandung bermacam macam ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat,konon setelah kitab tersebut turun kepada Datu Sanggul kemudian diturunkan lagi kepada saudara angkatnya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan disimpan keturunan beliau hingga saat ini.

Atas saran dari Datu Labai Duliman yang ahli falakiah orang besar tsb dinamakan NURAYA,karena orang tersebut datang pada hari raya dan sesuai dengan badannya yg besar dan tinggi seperti RAYA,datu Nuraya bersal dari dua kata NUR dan RAYA ...NUR dalam bahasa arabnya cahaya,sedangkan RAYA artinya luas  jadi NURAYA artinya pembawa cahaya dan sinar serta lmu yg luas seperti Raya,sampai sekarang makam dari Datu Nuraya ramai diziarahi orang karena keanehan dan kekeramatannyadan merupakan makam terpanjang didunia letaknya didaerah Tatakan Rantau Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan.

Sumber:-Manakib Datu Suban
             -Manakib Datu Sanggul
             -Riwayat Datu Datu Kalimantan Selatan
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan

Senin, Juni 04, 2012

Kisah Ashabul Kahfi


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan untuk mereka petunjuk.”
(Al-Kahfi: 13)

Mereka adalah sekelompok pemuda yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang meyakini bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah subhanahu wa ta’ala semata, mereka teguh di atas keyakinan yang benar tersebut. Meskipun harus bertentangan dengan mayoritas kaum mereka yang berada dalam kesesatan, dan kesyirikan (menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala).

Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan perkataan mereka di dalam firman-Nya:

“Lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru (beribadah kepada) Rabb selain Dia, Sesungguhnya kami kalau demikian (menyeru/beribadah kepada selain-Nya) telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai Rabb-Rabb (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-Kahfi: 14-15)

Adapun jumlah mereka sebagian ahli tafsir menguatkan bahwa jumlah mereka tujuh orang dan yang ke delapan anjingnya, Allah menyebutkan persangkaan orang-orang ahlul kitab tentang jumlah mereka. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):

“Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah, “Rabb-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah kamu (Muhammad) berdebat tentang hal mereka, kecuali perdebat lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22)

Setelah mereka sepakat bahwa tidak mungkin tetap tinggal bersama kaum mereka yang menyembah berhala, maka para pemuda tersebut bermusyawarah diantara mereka, dan memutuskan untuk berlindung di dalam sebuah gua demi menyelamatkan akidah dan keyakinan mereka. Setelah sebelumnya mereka berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala:

“Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan Kami (ini).” (Al-Kahfi: 10)

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala pun mengabulkan doa mereka dan memudahkan urusan mereka. Mereka berlindung di dalam sebuah gua yang cukup luas sehingga mereka bisa tinggal dengan nyaman di dalamnya. Allah juga menidurkan mereka di dalam gua tersebut, sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (Al-Kahfi: 11)

Maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala menidurkan mereka.

Para pembaca rahimakumullah, dalam tidurnya yang sangat panjang tersebut Allah menjaga tubuh mereka agar tidak rusak. Di antara bentuk penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala adalah:

1. Sinar matahari tidak masuk ke dalam gua, sehingga tidak langsung mengenai tubuh mereka, dengan demikian mereka pun tidak merasa kepanasan dengan sengatan sinar matahari.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dia lah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (Al-Kahfi: 18)

Para pembaca rahimakumullah, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mereka ditidurkan oleh Allah, namun dengan kekuasaan-Nya, Allah menjadikan orang yang melihat mereka mengira bahwa mereka dalam terbangun.

Sebagaimana di dalam firman-Nya (artinya):

“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur.” (Al-Kahfi: 17)

Mengapa demikian? Para ahli tafsir mengatakan hal itu terjadi karena mata mereka terbuka. (lihat Tafsir as-Sa’diy) Wallahu a’lam.

2. Penjagaan Allah agar tubuh mereka tidak dimakan tanah, yaitu dengan dibolak-balik tubuh mereka dalam tidur panjangnya itu, sehingga tubuh mereka tidak rusak dimakan tanah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka menjulurkan kedua kakinya di muka pintu gua.” (Al-Kahfi: 18)

3. Penjagaan Allah terhadap mereka dari orang-orang yang ingin mendekati mereka dengan adanya rasa takut sehingga tidak berani mendekati mereka.

“Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (Al-Kahfi: 18)

Mereka tinggal di dalam gua itu dalam keadaan tertidur selama tiga ratus sembilan tahun (309 tahun), Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan mereka tinggal dalam gua tersebut (selama) tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).”
(Al-Kahfi: 25)

Lalu Allah subhanahu wa ta’ala membangunkan mereka agar saling bertanya-tanya di antara mereka sudah berapa lamakah mereka tinggal di dalam gua?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?).” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), “Rabb kalian lebih mengetahui berapa lamanya kalian berada (di sini).”
(Al-Kahfi: 19)

Kemudian mereka merasakan lapar, lalu diutuslah salah seorang di antara mereka dengan membawa uang perak untuk membeli makanan.

Maka didapati oleh pemuda tersebut negeri (yaitu negeri Diqsus) yang sudah berubah, penduduknya pun telah berganti, tidak dia dapati lagi pemerintah yang mengenali mereka, dan tidak seorang pun yang dia kenal dari penduduk negeri tersebut.

“Maka suruhlah salah seorang di antara kalian untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untuk kalian, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan hal kalian kepada seorang pun.

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempat kalian, niscaya mereka akan melempar kalian dengan batu, atau memaksa kalian kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kalian tidak akan beruntung selama lamanya.

Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya.”
(Al-Kahfi: 19-21)

http://www.mahadassalafy.net/2012/03/kisah-ashhabul-kahfi.html

Penabuh Rebana Yang Sudah Uzur


Di akhir sebuah perjamuan Sufi, sang Syekh dan pelayan terpilihnya, al-Hasan, berdiri di pintu seperti biasanya, mengucapkan salam perpisahan kepada mereka yang berlalu. Al-Hasan sedang asyik memikirkan jumlah uang yang bisa dia peroleh dan merasa khawatir bahwa dia tidak bisa mengembalikan pinjaman dengan tepat waktu. Di dalam hatinya dia berharap sang Syekh akan memberinya saran.

Al-Hasan tengah terbawa lamunannya ketika dia mendengar Abu Sa’id berkata, “Lihat, ada orang datang. Pergilah, dan lihat apa yang bisa kau perbuat untuknya.” Ternyata orang itu adalah seorang wanita yang sudah uzur, yang kemudian dibawa al-Hasan masuk ditawari teh. Wanita itu kemudian memberi al-Hasan satu tas penuh koin emas untuk diberikan kepada sang Syekh sebagai penukar doa bagi jiwanya.

Senang dengan pikiran bahwa uang itu akan membantu membebaskan dari utang, al-Hasan membawa uang itu kepada Abu Sa’id. Tetapi, ternyata Abu Sa’id menggunakannya untuk tujuan lain. Abu Sa’id meminta al-Hasan untuk pergi ke pekuburan kota. Di sana, di salah satu sudut satu-satunya bangunan, al-Hasan membangunkan lelaki itu, menyampaikan salam dari sang Syekh dan memberikan koin emas kepadanya. Al-Hasan melakukannya sesuai perintah Abu Sa’id. Ketika dia memberikan koin itu, lelaki tua itu menangis dan meminta al-Hasan untuk membawanya kembali kepada Abu Sa’id.

Lelaki renta bercerita kepada al-Hasan, “Aku adalah seorang penabuh rebana. Ketika muda, aku begitu populer dan setiap orang menyukai musikku. Orang-orang biasanya membayarku dengan baik, dan secara teratur aku diundanng ke setiap perayaan dan perjamuan. Bagitu aku tua, kepopuleranku merosot, dan akhirnya tidak seorangpun yang menginginkanku. Aku diusir oleh keluargaku sendiri dari rumahku. Sejak tadi malam aku disini, merasai lelah, lapar dan sebenggol-benggol rasa sedih. Aku datang ke pekuburan ini, dan sekarang menjadi pengemis agar bisa makan. Aku tidak punya siapapun untuk berpaling kecuali Tuhan. Aku terisak dan berdoa serta bercerita pada-Nya bahwa tidak seorangpun menginginkan musikku. Aku bermain musik, menyanyi, dan menangis sepanjang malam, berharap Dia akan membayarku hingga akhirnya aku tertidur menjelang fajar. Dan sekarang, engkau memberikan satu tas penuh uang.”

Al-Hasan membawa mantan penabuh rebana itu ke khanaqah. Begitu melihat Abu Sa’id, lelaki itu bersujud di kaki sang Syech, dia memuji Tuhan dan meminta Abu Sa’id mendoakan jiwanya. Abu Sa’id memperlakukan lelaki renta itu dengan sangat baik, dan kemudian dia berkata kepada al-Hasan, “Tidak seorangpun akan tersesat jika dia percaya kepada Tuhan. Sama halnya seperti uang yang telah disediakan untuk lelaki itu, untukmu juga akan tersedia.”

Catatan :
Seorang sufi mengatakan aku tenang karena aku yakin rejekiku tidak akan tertukar. Sang sufi benar-benar yakin bahwa Allah swt telah mengatur segalanya dan segala seuatu yang sudah ditakdirkan kepada seorang manusia pasti akan datang dan terjadi. Sehingga dia terus beribadah kepada Nya, mengingat Nya  disetiap waktu, dalam segala situasi dan kondisi, dengan khusyu tanpa takut tidak mendapatkan bagian rejeki didunia ini. “Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari nikmat-Ku (Qs- Al-Baqarah;152).

Sumber :
Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamina, "Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda",Terjemahan dari : "Tales from the Land of the Sufis", Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal 58-59.

Begitu Cepat Berlalu


Seorang Sufi yang telah mengembara jauh dan dengan susah payahnya melewati gurun, akhirnya tiba di sebuah perkampungan. Desa itu disebut bukit berpasir, daerahnya kering dan panas. Kecuali rerumputan yang mencukupi ternak mereka dan semak-semak, tanaman kehijauan amatlah langka di situ. Ternak adalah harta utama mereka. Bukit berpasir; seandainya kondisi tanahnya berbeda, mungkin mereka juga dapat bercocok tanam. Sang Sufi dengan sopan menyapa orang yang berpapasan dengannya, lalu menanyakan apa ada tempat di mana dia bisa mendapatkan sekerat makanan dan menginap selama semalam. “Baiklah,” kata orang itu, mengusap kepalanya, “kami tidak punya tempat semacam itu di desa ini. Tetapi aku yakin Syakir dapat membantumu.” Kemudian orang itu menunjukkan arah untuk menuju peternakan Syakir, orang yang namanya berarti: “orang yang terus-menerus bersyukur kepada Allah”.

Dalam perjalanan menuju peternakan tersebut, sang Sufi menghampiri sekelompok orang tua yang sedang menyedot pipanya, dan menanyakan kebenaran arah yang ditujunya. Dari mereka, Sufi tersebut mengetahui bahwa Syakir memiliki lebih dari seribu ternak,-“Dan lebih dari kekayaan Haddad, yang tinggal di desa tetangga.”

Tak berapa lama kemudian, sang Sufi sudah berdiri di depan rumah Syakir, dan terkagum-kagum. Ternyata, Syakir adalah orang yang sangat ramah dan baik. Dia memaksa Sufi agar sudi tinggal di rumahnya selama dua hari. Isteri dan anak Syakir juga tidak kalah baik dan ramahnya. Mereka menerima sang Sufi apa adanya dan menyediakan yang terbaik untuknya. Di akhir kunjungan, mereka bahkan membekali dengan makanan yang banyak dan air untuk di perjalanannya.

Di dalam perjalanannya kembali ke gurun, sang Sufi terus memikirkan maksud ucapan terakhir Syakir pada saat mereka berpisah. Waktu itu sang Sufi berkata, “Alhamdulillah, engkau begitu baik.”

“Tetapi, Sufi,” Syakir menjawab, “jangan tertipu penampilan, karena ini akan terlalu cepat berlalu.”

Selama tahun-tahun yang dia lewati di jalan Sufi, sang Sufi telah memahami bahwa apa pun yang dia lihat atau dia dengar di dalam perjalanannya, memberikan cukup bahan untuk dipelajari, dan karena itu memberikan sebentuk ketakafuran yang berharga. Sebenarnya, karena alasan inilah dia mengembara-untuk belajar lebih dalam lagi. Ucapan Syakir melekat di benaknya, dan dia tidak yakin bahwa dia memahami maknanya sepenuhnya.

Dia duduk di bawah bayangan sebuah pohon untuk berdoa dan bertafakur. Latihan Sufinya mengajarkan agar dia tetap tenang dan tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan, karena pada akhirnya dia akan menemukan jawaban. Dia diajari untuk diam dan tidak bertanya; bila tiba saatnya untuk diberi penerangan, saat itu akan datang. Oleh karena itu, dia menutup pintu pikirannya dan tenggelam dalam renungannya.

Begitulah, dia meneruskan pengembaraannya ke pelbagai tempat selama lima tahun, bertemu dengan orang-orang baru, dan belajar dari pengalaman yang diperolehnya di jalan. Setiap petualangan menawarkan pelajaran baru. Sementara itu, sebagaimana kebiasaan Sufi, dia terus berusaha untuk tetap tenang, berkonsentrasi pada kata hatinya.

Suatu hari, sang Sufi menemukan dirinya kembali ke desa Bukit Berpasir, desa yang pernah disinggahinya beberapa tahun yang lalu. Dia ingat kembali kepada sahabatnya Syakir, kemudian menanyakannya pada orang yang ditemuinya. “Dia tinggal di desa tetangga, sepuluh mil dari sini. Sekarang dia bekerja pada Haddad, “Jawab penduduk desa itu. Sang Sufi terkejut, teringat kembali bahwa Haddad juga orang kaya di wilayah tersebut. Gembira karena akan kembali bertemu dengan Syakir, dia bergegas menuju desa tetangga.

Di rumah Haddad yang megah, sang Sufi disambut oleh Syakir, yang terlihat jauh lebih tua dan mengenakan pakaian yang jelek. “Apa yang telah terjadi padamu?” Tanya Sufi ingin tahu. Syakir menjawab bahwa tiga tahun sebelumnya datang banjir yang menghabiskan seluruh ternak dan rumahnya. Oleh karena itu dia dan keluarganya kemudian menjadi pelayan Haddad, yang selamat dari bencana itu dan sekarang menikmati status sebagai orang terkaya di wilayah itu. Meski demikian, hal tersebut tidak mengubah keramahan dan kebaikan Syakir dan keluarganya. Mereka dengan ramah mempersilahkan sang Sufi untuk tinggal di pondok mereka selama dua hari, dan memberi bekal air dan makanan ketika Sufi itu akan pergi.

Sewaktu pamitan, sang Sufi berkata, “Aku menyesali apa yang terjadi padamu dan keluargamu. Aku tahu Tuhan memiliki alasan atas segala yang Dia lakukan.”

“Oh, tapi ingatlah, ini akan cepat berlalu.”

Ucapan Syakir terus berdengung di telinga sang Sufi. Wajah Syakir yang tersenyum dan tenang tidak pernah melenyap dari benaknya. “Apa maksudnya berkata begitu pada saat ini?” Sang Sufi sekarang tahu bahwa ucapan terakhir Syakir pada kunjungan pertamanya adalah untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi. Tetapi saat ini, sang Sufi bertanya-tanya, apakah  ucapan itu merupakan pernyataan yang optimistik. Jadi, sang Sufi membiarkannya, menanti jawaban yang akan muncul.

Bulan berganti tahun, sang Sufi terus mengembara tanpa kenal lelah. Anehnya, perjalanannya selalu membawanya kembali ke desa di mana Syakir berada. Kali ini, perlu waktu tujuh tahun sebelum akhirnya dia kembali ke desa Bukit Berpasir. Dan Syakir sudah menjadi kaya kembali. Syakir tinggal di rumah utama yang dulu didiami Haddad. “Haddad meninggal dunia dua tahun yang lalu,” Syakir menjelaskan, “dan karena dia tidak mempunyai ahli waris, dia memutuskan untuk mewariskan seluruh kekayaannya kepadaku sebagai penghargaan atas pelayananku yang setia.”

Di akhir kunjungan, sang Sufi mempersiapkan diri untuk perjalanan terbesarnya: dia akan menunaikan ibadah haji ke Makkah, menyeberangi Saudi Arabia dengan berjalan kaki, tradisi Sufi yang sudah berjalan sejak lama. Perpisahannya dengan Syakir tidak berbeda dengan sebelumnya. Syakir kembali berkata, “Semua ini akan cepat berlalu.”

Setelah berangkat haji, sang Sufi berkelana ke India. Dalam perjalanan pulangnya ke Persia, dia memutuskan untuk mengunjungi Syakir lagi, untuk melihat apa yang sudah terjadi. Maka sang Sufi pun kembali ke desa Bukit Berpasir. Ttapi, bukannya Syakir yang dia temukan, melainkan nisan sederhananya yang bertuliskan “Ini semua akan cepat berlalu”. Dan Sufi lebih heran lagi melihat tulisan itu. “Kekayaan datang dan pergi,” pikir sang Sufi, “tetapi bagaimana sebuah makam bisa berubah?”

Sejak saat itu, sang Sufi memutuskan untuk mengunjungi makam sahabatnya tersebut setiap tahun. Dia menghabiskan waktu berjam-jam bertafakur di tempat itu setiap kali berkunjung. Suatu ketika, dia menemukan  pemakamanan dan nisan Syakir telah hilang terbawa air bah. Sekarang sang Sufi yang sudah tua itu kehilangan jejak satu-satunya dari orang yang telah memberinya pengalaman hidup yang istimewa. Sang Sufi diam tunduk menatap tanahdi reruntuhan pemakaman itu selama berjam-jam. Akhirnya dia mengangkat kepalanya, memandang kearah langit. Kemudian, seolah menemukan makna yang lebih besar, dia menganggukkan kepalanya dan berkata, “Begitu cepatnya semua ini berlalu.”

Ketika sang Sufi bertambah tua dan tidak sanggup lagi melakukan perjalanan, dia memutuskan untuk tinggal dan hidup dengan damai dan tenang.

Tahun demi tahun berlalu, sang Sufi menghabiskan waktunya dengan membantu orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta nasihat, dan pelbagai pengalaman dengan orang-orang yang lebih muda darinya. Banyak orang datang dari mana-mana untuk memanfaatkan kearifannya. Ketenarannya akhirnya didengar oleh penasihat raja, yang pada saat itu sedang mencari orang yang bijaksana.

Sang raja meminta dibuatkan cincin. Cincin tersebut harus istimewa; cincin tersebut harus memiliki tulisan yang dapat membuat raja merasa senang ketika dia sedih; dan ketika dia bahagia, dengan melihat cincin itu, dia akan merasa sedih.

Ahli-ahli perhiasan  terbaik telah didatangkan, dan banyak orang baik wanita maupun laki-laki yang diminta saran, tetapi tidak satu pun hasilnya yang disukai raja. Maka sang penasihat raja pun menulis surat kepada sang Sufi, menjelaskan situasinya, memohon bantuan sang Sufi dan mengundangnya untuk datang ke istana. Tanpa meninggalkan rumahnya, sang Sufi mengirimkan jawaban.

Beberapa hari kemudian, sebuah cincin jamrud pun dibuat dan dipersembahkan kepada sang raja. Raja yang telah berhari-hari murung, dengan malas mengenakan cincin tersebut di jarinya, dan menatapnya dengan pandangan kecewa. Tetapi, dia lalu tersenyum, dan tak lama kemudian dia tertawa keras. Pada cincin itu tertulis “Ini terlalu cepat berlalu.”



Sumber :

Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, "Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda",Terjemahan dari : "Tales from the Land of the Sufis", Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal 87-91.

Kisah Tentang Ke-Maha Adil-an Tuhan


Suatu saat Nabi Musa a.s. bermunajat kepada Allah di bukit Thursina. Di antara munajat yang dilantunkannya adalah, “Ya Allah, tunjukkanlah keadilan-Mu kepadaku!” Allah berkata kepadanya, “Jika saya menampakkan keadilan-Ku kepadamu, engkau tidak akan dapat sabar dan tergesa-gesa menyalahkan-Ku.”

“Dengan taufik-Mu, “kata Musa a.s., “aku akan dapat bersabar menerima dan menyaksikan keadilan engkau". Kemudian Allah berkata "Pergialah ke mata air anu! Bersembunyilah engkau di dekatnya dan saksikan apa yang akan terjadi.!”.

Musa pergi ke mata air yang ditunjukkan kepadanya. Dia naik ke atas sebuah bukit dan bersembunyi . tidak lama kemudian datanglah seorang penunggang kuda. Dia turun dari kudanya, lalu wudhu, dan meminum air. Setelah itu dia shalat dan meletakkan sebuah kantong di pinggirnya yang berisi uang seribu dinar.

Setelah selesai melakukan shalat, penunggang kuda tadi bergegas pergi dan sangat terburu-buru sehingga dia lupa terhadap kantongnya. Tidak lama kemudian datang seorang anak kecil untuk meminum air dari mata air itu. Ia melihat ada sebuah kantong lalu mengambilnya dan langsung pergi.

Setelah anak kecil pergi, datang seorang kakek yang buta. Ia mengambil air untuk di minum lalu wudhu dan shalat. Setelah si kakek selesai melakukan shalat, dating penunggang kuda yang ketinggalan kantongnya itu. Dia menemukan kakek buta itu sedang berdiri dan akan segera beranjak dari tempatnya. Si penunggang kuda bertanya, “Kamu pasti mengambil kantongku yang berisi uang disini.” Betapa kagetnya si kakek buta itu. Ia berkata, “Bagaimana saya dapat mengambil kantongmu sementara mataku tidak dapat melihat?” Penunggang kuda itu berkata, “Kamu jangan berdusta! Sebab, tidak ada orang lain selain kamu” Si kakek buta berkata, “Betul, saya berada disini sendirian. Namun, kamukan tahu mataku tidak dapat melihat.” Si penunggang kuda berkata, “Mengambil kantong itu tidak harus dengan mata, dungu! Tetapi dengan tangan! Walaupun mata kamu tidak melotot, tanganmu tetap dapat digunakan.

Akhirnya , si kakek buta itu dibunuh oleh penunggang kuda. Setelah si kakek buta dibunuh, Ia menggeledahnya untuk menemukan kantongnya. Namun, ia tidak menemukannya. Maka, ia pergi meninggalkan mayat kakek buta tersebut.

Ketika Musa a.s. melihat kejadian tersebut, dia berkata, “Ya Tuhan, sungguh saya tidak sabar atas kejadian itu. Namun, saya yakin Engkau sangat adil. Kenapa kejadian mengenaskan itu bisa terjadi?”

Tidak lama kemudian datanglah malaikat Jibril dan berkata, “Allah memerintahkan kepadaku agar menyampaikan penjelasan-Nya kepadamu. Dia menyebutkan bahwa diri-Nya sangat mengetahui hal-hal gaib yang tidak engkau ketahui. Dia menyebutkan bahwa anak kecil yang mengambil kantong adalah mengambil haknya. Dulu, ayahnya pernah bekerja di si penunggang kuda itu namun ia tidak bayar secara zalim. Jumlah yang harus dibayarkan kepada ayah anak itu adalah sejumlah uang yang ada dalam kantong itu. Adapun kakek buta adalah yang membunuh ayah anak kecil itu sebelum mengalami kebutaan.”

Sumber : Buku : "Menggapai Hikmah dari Kisah"  (Kumpulan Kisah dari Buku Imam Al - Ghazali), pengumpul : Isyan Basya, Hasyimi, Januari 2005.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...