Mubahalah
secara terminologi adalah memohon kutukan kepada Allah SWT untuk
dijatuhkan kepada orang yang berdusta, sebagai bukti kebenaran salah
satu pihak. Mubahalah dilakukan ketika orang-orang berdebat tentang
masalah penting agama, lalu berkumpul di sebuah tempat dan memohon
kepada Allah untuk mereka yang berbohong dan menentang kebenaran.
Dalam buku tafsir Syiah dan Sunni serta sebagian buku hadis
dan sejarah kita membaca bahwa pada tahun kesepuluh Hijrah, ada
sekelompok orang yang dikirim oleh Rasulullah SAW untuk melakukan tablig
Islam ke kawasan Najran yang terletak di Yaman. Warga Kristen Najran
juga mengirim delegasi ke Madinah untuk berdialog dengan Nabi Muhammad
SAW. Terjadi dialog antara mereka dan Rasulullah SAW, tapi yang terjadi
tetap saja mereka berusaha mencari-cari alasan serta berusaha meragukan
kebenaran Islam.
Dalam
sebuah diskusi dengan delegasi Nasrani, Rasulullah SAW mengajak mereka
untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi mereka tetap
bersikeras bahwa bukti ketuhanan Al-Masih adalah kelahiran Isa AS tanpa
perantara seorang ayah. Pada saat itu, turun wahyu kepada Rasul yang
berbunyi “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah, sama seperti Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah.”(Ali Imran:59).
Dalam
ayat tersebut, Allah SWT selain menjelaskan keserupaan penciptaan Nabi
Isa AS dengan Nabi Adam AS, juga mengingatkan bahwa Nabi Adam AS juga diciptakan
tanpa perantaraan ayah dan ibu. Jika ketiadaan ayah bagi Al-Masih adalah
bukti ketuhanan Nabi Isa AS, maka Nabi Adam AS lebih layak menyandang posisi tersebut,
karena Nabi Adam AS diciptakan tanpa perantara ayah dan ibu.
Meskipun
Rasulullah SAW sudah telah memaparkan argumen demikian secara lugas
dan tegas, serta di tambah penjelasan tentang penciptaan Nabi Isa as
pada ayat-ayat sebelumnya, namun delegasi Nasrani tetap tidak puas.
Kemudian Allah memerintahkan Rasulullah untuk melakukan Mubahalah guna
menyingkap kebenaran dan menghukum yang berdusta.
Pada akhirnya Allah memerintahkan Rasul untuk bermubahalah. Allah berfirman “Siapa
yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil
isteri-isteri kamu dan isteri-isteri kami, anak-anak kamu dan anak-anak
kami, diri kamu dan diri kami, kemudian marilah kita bermubahalah kepada
Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang
yang berdusta.” (Ali Imran:61).
Kata "Nabtahil" dalam ayat di atas berasal dari kata "Ibtihaal" yang berarti membuka tangan dan siku ke arah langit untuk berdoa. Ayat ini dikarenakan ada kata "Nabtahil" dikenal dengan nama ayat Mubahalah. Kata Mubahalah itu sendiri berarti perhatian dan ketundukan dua kelompok yang saling bertentangan di hadapan Allah Swt dan meminta laknat dan kemusnahan pihak lain yang dianggapnya batil.
Ketika delegasi Kristen Najran mendengar usulan Mubahalah dari Rasulullah SAW, mereka saling menatap dan kebingungan. Mereka meminta waktu untuk bermusyawarah memikirkan usulan ini. Seorang tokoh Kristen Najran berkata kepada mereka, "Kalian terima saja usulan itu. Bila kalian menyaksikan Muhammad datang bersama orang banyak untuk Mubahalah, maka kalian jangan khawatir dan ketahuilah tidak akan ada sesuatu yang terjadi bagi kalian. Tapi bila datang dengan beberapa orang saja, maka kalian harus mengundurkan diri dari Mubahalah dan berdamai dengannya."
Hari Mubahalah tiba. Mereka menyaksikan Nabi Muhammad SAW datang dengan disertai dua anak, seorang pemuda dan perempuan. Dua anak itu adalah cucu beliau Hasan AS dan Husein AS, sementara pemuda itu adalah menantu sekaligus keponakan beliau Ali AS dan seorang perempuan, yakni Fathimah AS, putri Rasulullah Saw sendiri.
Uskup Kristen Najran berkata, "Demi Allah! Saya melihat wajah-wajah yang bila mereka memohon kepada Allah agar memindahkan gunung, maka gunung itu akan pindah dari tempatnya. Bila mereka melaknat, maka tidak akan satu orang Kristen pun di muka bumi. Oleh karenanya, segera menyampaikan pembatalan Mubahalah dan bersedia untuk berdamai."
Setelah pembatalan sepihak itu, delegasi Nasrani pun mendatangi Rasul Saw dan berkata kepadanya “Wahai Abul Qasim! Urungkanlah niatmu bermubahalah dengan kami, dan kami siap berdamai atas segala sesuatu yang mampu kami tunaikan.” Rasul SAW pun akhirnya menerima tawaran perdamaian.
http://indonesian.irib.ir/al-quran/-/asset_publisher/b9BB/content/sejenak-bersama-al-quran-peristiwa-mubahalah
http://sejarah.kompasiana.com/2013/10/28/mubahalah-dan-pluralitas-rasulullah-sawa-603163.html