Jumat, Mei 15, 2009

Kurikulum Gender dan Perubahan Masa Depan


Jakarta - Pada saat ini pembahasan tentang kesetaraan gender sedang memanas. Isu kesetaraan gender ini seolah menjadi bumbu utama dalam setiap acara seperti seminar-seminar, diskusi, diklat, dan training. Media cetak pun tak ketinggalan untuk berbicara masalah keseteraan gender. Semisal jurnal, majalah, koran, dan buku. Begitu pun media elektronik seperti internet, televisi, dan radio.

Jika dilihat lebih komprehensif lagi ide ini pada faktanya telah dimasukkan dalam 12 bidang kritis yang ada, yaitu: perempuan dan kemiskinan; pendidikan dan pelatihan bagi perempuan; perempuan dan kesehatan; kekerasan terhadap perempuan; perempuan dan konflik bersenjata; perempuan dan ekonomi; perempuan dalam pengambilan kekuasaan; mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan; hak asasi perempuan; perempuan dan media; perempuan dan lingkungan serta anak perempuan.

Bahkan, saat ini sudah merambah melalui lembaga formal salah satunya adalah lembaga pendidikan dengan memasukkan ke dalam mata pelajaran sampai pada kurikulum yang dibuat berbasis gender. Bukti masuknya ide ini dalam kurikulum dapat dilihat dari adanya Kurikulum Kesetaraan Gender (IKKG) dengan nilai-nilai Integritasi pada Kurikulum yang wajib dilaksanakan guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar yaitu: Persamaan hak laki-laki dan perempuan, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, kerja sama laki-laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai kemajemukan, demokrasi.

Kurikulum ini pun sudah dicobakan pada KTSP berbasis kesetaraan gender sudah dilaksanakan oleh beberapa sekolah di Indonesia salah satunya adalah di SMA Negeri 4 Yogyakarta.(Pemerintahan Yogyakarta Dinas Pendidikan Sekolah Menengah Atas). Melihat dari aspek historisnya pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender ini, dilandasi oleh Deklarasi pada Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 (5) yang berbunyi " ... ketidakseimbangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah harus ditiadakan".

Serta rencana aksi hasil dari Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 (c) yang berbunyi: " ... Menghapuskan ketimpangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 (UNICEF). Dan ini sejalan dengan pemikiran dari Departemen Dinas Pendidikan (Depdiknas) itu sendiri yang menganggap bahwa Kesetaraan Gender dengan makna yang termuat dalam Lampiran Inpres No 9/ 2000, yaitu: Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut merupakan problem mendasar dalam pendidikan.

Hal itu diangkat berdasarkan kenyataan yang ada bahwa masih terdapat adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Depdiknas melalui upaya Pengarusutamaan Gender (PUG) melakukan pengurangan kesenjangan tersebut. Salah satu caranya dengan pengadaan kurikulum berbasis gender yang sudah dibahas di atas (Konsep Pengembangan Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender).

Keberadaan kurikulum ini tidak independen akan tetapi ada pengaruh dari isu yang sedang mengglobal dan seolah-olah kemunculan Kurikulum Berbasis Gender ini merupakan jawaban dari tututan globalisasi yang mau tidak mau negara yang terbawa arus globalisasi ini harus mengikutinya sebagai bukti keikutsertaannya dalam globalisasi. Apalagi isu ini dilegalkan secara global melalui lembaga internasional yaitu PBB dengan UNICEFnya.

Selain itu, ditemukan pula hubungan bahwa negara-negara maju saat ini juga sedang gencar melakukan sosialisasi isu gender ini dalam setiap bidang di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, simaklah salah satu program politik luar negeri AS di Indonesia: "Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesan tren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan" (lihat:http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html).

Dalam hal ini Unesco melalui Education For All (EFA) pun tak luput memprogramkan kesetaraan gender dalam programnya yang dijalankan di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Arief Rahman, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco yang menilai guru merupakan pihak yang paling berpengaruh terhadap anak-anak untuk menyampaikan pemahaman tentang kesetaraan gender oleh karena itu banyak dilakukan pelatihan-pelatihan untuk memahamkan ide gender ini terhadap guru-guru Indonesia yang akan menjadi penunjang yang sangat berguna demi pelaksanaan Kurikulum berbasis Kesetaraan Gender di Indonesia.

Perlu dicermati oleh masyarakat Indonesia dan praktisi Pendidikan Indonesia khususnya mengenai keberadaan kurikulum ini merupakan program Internasional yang baik buruknya secara komprehensif terkadang sering terlupakan untuk dipikirkan. Contohnya adalah saat privatisasi perguruan tinggi melalui UU BHP yang merupakan perpanjangan dari program privatisasi dari PBB dan EFA yang pada akhirnya merugikan masyarakat Indonesia dengan tingginya biaya pendidikan Perguruan Tinggi. Begitu pula kita harus waspada dan mengkaji kembali masuknya kurikulum gender ini.

Dengan masuknya pemahaman kesetaraan gender di dalam pendidikan pada dasarnya secara perlahan akan mengarahkan kepada kesamaan perilaku siswa perempuan dan laki-laki ketika besar nanti. Ketika siswa tersebut balig baik laki-laki maupun perempuan segi penghambaan manusia terhadap penciptanya di mana ketika kesetaraan gender ini masuk melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) maka akan menjauhkan dari syariat Islam. Sebab, Islam memuliakan laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berbeda-beda sesuai dengan potensi pada keduanya. Dengan masuknya ide kesetaraan maka akan berbenturan dengan hukum waris, kewajiban hak dalam berkeluarga.

Dalam setetaraan gender kemulian perempuan lebih ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum perempuan. Di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri dalam bidang finansial. Selanjutnya, perempuan yang telah mandiri secara finansial tidak perlu bergantung kepada laki-laki (suami).

Konteks kemandirian perempuan juga terkait dengan tidak adanya kewajiban untuk taat kepada suami. Jika perempuan telah berperan dalam finansial keluarga maka peran domestik tidak lagi bertumpu pada perempuan. Harus ada pembagian kerja dalam tugas-tugas rumah tangga, sebagaimana jasa perempuan mengambil alih sektor publik (mencari nafkah keluarga).

Peran keibuan tidak lagi menjadi tanggung jawab perempuan. Kaum laki-laki harus berperan dalam tanggung jawab pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga. Namun, akhirnya tidak ada satu pun laki-laki maupun perempuan yang mangambil peran utam dalam rumah tangga, karena keduanya bersaing keras di sektor publik.

Anak-anak akan menjadi terlantarkan jika laki-laki dan perempuan sama-sama tersita dalam aktivitas publik yang pada akhirnya mereka akan memyelesaikan masalah tersebut dengan menggaji pembantu. Negara pun dapat mencari solusi dengan penyelenggaraan day care centre sebagaiman yang diterapkan dalam program welfare state di Negara Skandinavia.

Pada titik ini kehancuran institusi keluarga akan semakin jelas. Peran pemimpin yang dibebankan kepada kaum laki-laki akan melemah. Karena kaum perempuan pun turut menuntut kepemimpinan tersebut. Apalagi jika gaji kaum perempuan lebih tinggi. Peran keibuan dan pengelolaan rumah tangga akan terabaikan. Padahal peran ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas.

Dampak nyata kehancuran masyarakat dan generasi ini sudah terbukti di negara yang
di puji-puji dalam kebehasilan menerapkan keadilan dan kesetaraan gender 50:50, yaitu Skandinavia. Negara ini justru mengalami banyak kerusakan struktur sosial.

Angka perceraian meningkat sekitar 100% dalam waktu 20 tahun, persentase anak yang dilahirkan di luar nikah hampir melebihi 50%, kenakalan remaja meningkat, kriminalitas meningkat 400% (1950-1970), anak-anak bermasalah alkoholik, obat bius, dan tindak kekerasan meningkat 400% (1950-1970). Hal yang sama pun terjadi di negara pengusung gender lainnya seperti Amerika.

Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan memiliki potensi hidup yang sama yaitu akal, kebutuhan hidup, dan naluri. Semua ini adalah sifat kodrati yang telah melekat pada penciptaan manusia. Namun demikian, selain memiliki kesamaan dalam penciptaan sebagai manusia, pria dan wanita juga memiliki kekhususan-kekhususan sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing. Baik perbedaan yang bersifat fisik meliputi struktur tubuh, organ reproduksi, sistem hormonal ataupun yang bersifat psikis yang bisa jadi dipengaruhi oleh faktor biologisnya.

Karena itu sungguh tepat jika Islam menetapkan hak dan kewajiban yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Wajar jika laki-laki mendapat tugas sebagai pemimpin bagi perempuan karena Allah SWT telah memberikan kelebihan padanya dalam hal tersebut. Wajar pula jika wanita mendapatkan tugas dan tanggung jawab sebagai umm wa rabbat al bayt (ibu dan pengatur rumah tangga) karena perempuan memang diberi kelebihan dan keistimewaan dalam perkara tersebut. Itulah aturan yang adil.

Perlu kita semua memahami bahwa adanya perbedaan dari segi aktivitas ini bukan berarti akan menurunkan kemuliaan dari dua makluk ini yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang jika hak dan kewajiban dilakukan sesuai dengan porsinya oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan maka akan menghasilkan kehidupan yang selaras dan harmonis. Kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah akan terbentuk dan begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu masuknya kesetaraan gender ini perlu diwaspadai sebagai racun yang sengaja ditanamkan kepada generasi muda untuk menghancurkan kehidupan di masa depan.

sumber http://suarapembaca.detik.com/read/2009/05/15/085843/1131778/471/kurikulum-gender-dan-perubahan-masa-depan

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...