Senin, Juli 29, 2013

Pemetaan Konflik Mesir



Dina Y. Sulaeman*

Pengantar: Dalam artikel panjang ini penulis akan melakukan pemetaan konflik dengan harapan agar publik bisa melihat situasinya dengan lebih jernih. Ini penting karena opini publik Indonesia atas konflik ini terlihat mulai keruh oleh sikap-sikap takfiriah. Yang tidak mendukung Mursi dituduh anti-Islam. Bahkan banyak yang seenaknya berkata: yang anti-Mursi pasti Syiah atau Yahudi (dan keduanya bersekongkol!). Jelas ini pernyataan yang tidak logis, tidak cerdas, dan semata didasarkan pada kebencian yang membabi-buta. Sebaliknya, yang menolak kudeta pun, belum tentu pro-Mursi atau pro-takfiri. Bahkan, negara yang paling awal mengecam penggulingan Mursi dan menyebutnya sebagai kudeta militer justru Iran. Sebaliknya, yang pertama kali memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir justru Arab Saudi.
  
(1)  Ikhwanul Muslimin
Muhammad Mursi, doktor lulusan AS dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) naik ke tampuk kekuasaan dengan memenangi 52% suara dalam pemilu bulan Juni 2012. Jumlah turn-out vote saat itu hanya sekitar 50%. Artinya, secara real Mursi hanya mendapatkan dukungan seperempat dari 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara (karena ‘lawan' Mursi saat itu hanya satu orang, Ahmad Shafiq, mantan perdana menteri era Mubarak). Dalam posisi seperti ini, bila benar-benar menganut azas demokrasi, idealnya Mursi melakukan pembagian kekuasaan dengan berbagai pihak.

Awalnya, Mursi memang memberikan sebagian jabatan dalam kabinetnya kepada tokoh-tokoh yang tadinya berada di pemerintahan interim militer.Namun sikap kompromistis Mursi tak bertahan lama. Pada bulan Agustus 2012, Mursimulai melakukan ‘pembersihan' di tubuh pemerintahannya. Bahkan pada bulan November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua produk hukum yang dihasilkan anggota parlemen (yang didominasi Ikhwanul Muslimin) tidak bisa dibatalkan pengadilan. Dekrit ini ditentang kaum sekuler dan minoritas karena mengkhawatirkan produk UU yang meng- ‘Ikhwanisasi' Mesir. Mereka pun berdemo besar-besaran di Tahrir Square.

Situasi semakin memanas seiring dengan sikap sektarianisme yang ditunjukkan para aktivis IM dan aliansi utama mereka, kalangan Salafi. Bila pada era Mubarak semua sikap politik-relijius  dari semua pihak diberangus, pada era Mursi yang terjadi adalah pembiaran kelompok berideologi takfiri (gemar mengkafirkan pihak lain) untuk menyebarluaskan pidato-pidato kebencian melalui berbagai kanal televisi dan radio.

Tidak cukup dengan pidato, aksi-aksi kekerasan fisik pun mereka lakukan. Korban sikap radikal mereka ini bahkan ulama Al Azhar. Pada 28 Mei 2013 kantor Grand Sheikh Al Azhar diserbu kelompok takfiri yang meneriakkan caci-maki, menyebut Al-Azhar sebagai institusi kafir. Tudingan ini dilatarbelakangi sikap moderat yang selalu diambil ulama Al Azhar dalam berbagai isu. Label kafir memang sering disematkan oleh pihak  pro-Mursi terhadap para penentangnya.  Puncaknya adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Syiah yang sedang mengadakan acara maulid Nabi di kawasan Zawiyat Abu Musallem.

Dalam kebijakan luar negerinya, Mursi pun tidak mendahulukan kepentingan nasional Mesir, melainkan kepentingan ideologis transnasional IM. Dalam konflik Suriah misalnya, dimana IM Suriah berperan aktif, Mursi memilih berpihak kepada kelompok oposisi. Mursi bahkan menjadi tuan rumah bagi muktamar para ulama di Kairo pada Juni 2012 yang merekomendasikan jihad, bantuan dana, dan suplai senjata untuk pemberontak Suriah. Ratusan jihadis asal Mesir pun ternyata sudah tewas di Suriah. Istilah gampangnya: negara sedang susah kok malah menghabiskan energi untuk ngurusin perang di negara lain?

Terhadap Israel pun, Mursi tidak menunjukkan sikap tegas: tetap mempertahankan hubungan diplomatik dan melakukan kebijakan anti-Palestina. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.Tidak seperti yang banyak diberitakan media pro-Mursi, sesungguhnya pada era Mursi-lah terowongan-terowongan penghubung Gaza-Rafah ditutup (puncaknya pada Februari 2013). Ratusan terowongan itu merupakan lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.

Sikap politik Mursi-IM ini tentu saja kontraproduktif dengan kebutuhan mendasar masyarakat Mesir yang didera kesulitan ekonomi. Mereka dulu bangkit menggulingkan Mubarak karena sudah lelah menghadapi kemiskinan akibat kebijakan ekonomi liberal yang dijalankan Mubarak, yang bekerja sama dengan IMF dan korporasi Barat. Namun kini, kebijakan ekonomi Mursi justru tak jauh beda dengan Mubarak. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Untuk mengatasinya Mursi tidak melakukan langkah radikal seperti yang diambil negara-negara Amerika Latin yang memutuskan hubungan dengan lembaga rente Barat. Ia malah bernegosiasi dengan IMF. Dan untuk melunakkan protes dari kalangan Salafi, dalam sebuah pidatonya bulan Oktober 2012, Mursi menyatakan, "Ini bukanlah riba."

Berbagai versi sikap Mursi ini (di satu sisi seperti Islam garis keras, tapi di satu sisi terlihat tetap berbaik-baik dengan Barat dan Israel), membuat yang memusuhinya bukan hanya kalangan liberal (yang mengkhawatirkan Ikhwanisasi Mesir), melainkan kalangan Islam radikal sendiri (yang menganggap Mursi kurang radikal). Itulah sebabnya, komposisi anti-Mursi sangat beragam, mulai dari liberal hingga Salafi.

(Catatan: Bagian ini adalah kutipan dari artikel karya penulis yang dimuat di Sindo Weekly Magazine No. 21-22. Analisis yang penulis ungkapkan di atas adalah hasil penelaahan dari berbagai sumber bacaan, namun terkonfirmasi oleh penjelasan Dubes Mesir untuk Indonesia –dalam wawancara yang berlangsung di Museum Konperensi Asia Afrika,18/7/13; dan juga oleh Tariq Ramadan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik Mursi. Tariq Ramadan adalah akademisi terkemuka, cucu Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.)

(2)  Militer Mesir

Perlu dicatat pula bahwa kesalahan yang dilakukan Mursi dan IM selama setahun masa kepemimpinannya tidaklah membuat pihak yang berseberangan dengannya menjadi sosok protagonis. Mari kita cermati siapa saja tokoh yang akhirnya memegang kekuasaan pasca Mursi. Perdana Menteri pemerintahan interim bentukan militer adalah Hazem el-Beblawi, seorang ekonom berhaluan liberal. Mohamed El Baradei, yang diangkat sebagai Wapres untuk bidang Hubungan Internasional adalah partner setia Barat selama ini. Selain pernah menjabat Gubernur IAEA, Baradei adalah anggota Dewan Pengawas ICG (Internasional Crisis Group), LSM internasional yang didanai tokoh Zionis, George Soros, yang terlibat dalam berbagai konflik di dunia. Pasca tumbangnya Mubarak, Baradeilah yang digadang-gandang Barat untuk menjadi pengganti, namun dia tak mendapat banyak dukungan rakyat. Jangan lupakan pula Menlu Nabil Fahmy, yang pernah menjadi Dubes Mesir untuk AS selama sembilan tahun pada era Mubarak.

Naiknya tokoh-tokoh ini, jelas mengindikasikan adanya faktor AS dalam penggulingan Mursi. Sebagaimana ditulis Tariq Ramadan dalam bukunya Islam and the Arab Awakening, adalah naif bila mengabaikan faktor AS dan negara-negara adidaya lain dalam menganalisis konflik Timur Tengah. Kepentingan ekonomi mereka di Timur Tengah sedemikian besar sehingga mereka akan sebisa mungkin melibatkan diri dalam setiap perubahan politik di kawasan ini. AS bersama  Freedom House dan the National Endowment for Democracy, jauh sebelum tergulingnya Mubarak telah mendukung dan mendanai kelompok-kelompok pro-demokrasi Mesir. Padahal di saat yang sama, AS pun tetap menjalin kemesraan dengan Mubarak. Inilah wujud political leveraging AS, bermain di dua kaki. Inilah yang dikatakan Tariq Ramadan, "Teman terbaik pemerintah Barat adalah mereka yang paling baik melayani kepentingan Barat, mereka bisa saja diktator, atau Islamis."

Ketika pemerintahan hasil demokrasi Mesir kembali digulingkan, AS pun tidak banyak bereaksi. Bahkan pemerintah AS kini tidak lagi menyebut penggulingan Mursi sebagai ‘kudeta militer' dan tetap akan mengirimkan F-16-nya ke Mesir (meski ada juga berita yang menyebutkan AS akan menundanya). Selama ini, setiap tahunnya AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milyar Dollar kepada Mesir, sebagian besarnya dalam bentuk bantuan militer. Di sisi lain, Obama juga meminta agar militer membebaskan Mursi, seolah-olah Obama berpihak pada Mursi.

Bila dilihat dari kacamata demokrasi, yang terjadi di Mesir adalah kudeta yang bertentangan dengan konsep dasar demokrasi. Dogma demokrasi adalah 50%+1 bisa dianggap sebagai mayoritas rakyat dan suara rakyat adalah "suara Tuhan" yang harus dipatuhi semua rakyat.

(Catatan:  Dalam wawancara penulis dengan Dubes Mesir untuk Indonesia, Bahaa El Deen Desouky, dia menyatakan bahwa situasi saat itu sudah sangat genting. Demonstrasi rakyat Mesir yang menuntut Mursi mundur adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Mesir. Mursi dan IM pun tidak melakukan langkah-langkah politik yang tepat untuk menangani masalah ini sehingga akhirnya militer ‘terpaksa' mengambil alih kendali kekuasaan agar situasi tidak lebih kacau lagi. Saat penulis menyebutkan adanya dominasi AS dalam pemerintahan interim, Desouky menyanggahnya dan menyebut itu gosip media belaka).

(3)  Respon Iran Seperti telah disinggung pada pengantar tulisan, sikap Iran berbeda dibanding negara-negara Arab (dan AS-Israel, tentu saja). Demo anti Mursi dan IM sesungguhnya tidak terjadi baru-baru ini saja, melainkan sejak Mursi nekad mengeluarkan Dekrit 22 November. Setelah itu, diadakan referendum untuk mengesahkan UU produk parlemen baru dan hasilnya mayoritas peserta referendum menyatakan setuju. Meskipun peserta referendum hanya 33% dari seluruh pemilik suara, dari kaca mata demokrasi, tetap saja ini dianggap sah. Dan saat itu, Iran terang-terangan menyatakan dukungannya.  Pada 25/12/12, Ahmadinejad  mengucapkan selamat kepada Mursi dan mengatakan, "Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan."  Padahal di saat yang sama, pemberitaan media Barat hampir seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin. 

Sikap Iran ini cukup menimbulkan tanda tanya. Sebab, sikap Mursi dan IM selama ini justru berkali-kali merugikan Iran. Dalam acara KTT Gerakan Non Blok di Teheran, misalnya, Mursi justru berpidato menyerukan para anggota GNB untuk bersatu mendukung ‘perjuangan' rakyat Suriah. Secara terang-terangan, Mursi menyebut pemerintah Suriah sebagai ‘rezim opresif' dan menyatakan bahwa pihaknya mendukung kehendak rakyat Suriah untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan.

Pidato Mursi ini sangat melanggar etika diplomasi karena menampar muka Iran sebagai tuan rumah, yang sudah jelas berposisi mendukung pemerintah Suriah. Kalau Iran waktu itu bukan tuan rumah, Iran akan leluasa memberikan pidato balasan. Namun posisinya sebagai tuan rumah membuat Iran terpaksa diam demi menjaga keberlangsungan sidang.  Selain itu, sikap Mursi jelas melanggar konvensi GNB yang menolak interferensi atas urusan internal negara lain. Kalaupun Mesir memiliki pendapat tertentu terkait Suriah, etikanya, disampaikan pada sidang-sidang perumusan deklarasi; dan nantinya akan dilakukan deklarasi bersama GNB terkait Suriah. Tak heran bila delegasi Suriah dalam KTT tersebut langsung melakukan aksi walkout saat mendengar pidato Mursi.

Segera setelah Mursi dipaksa lengser oleh militer, Iran mengeluarkan kecaman dan menyebut telah terjadi kudeta militer di Mesir. Padahal, di saat yang sama, Arab Saudi justru memberi selamat pada militer. Berdasarkan analisis-analisis politik yang dimuat di koran beroplah terbesar di Iran, Kayhan, bisa ditangkap bahwa sikap Iran ini disebabkan karena melihat kepentingan yang lebih global. Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti,  Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer (meskipun dengan alasan: kehendak rakyat), harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.

Pertanyaannya, bukankah rakyat Mesir memang benar-benar berdemo besar-besaran untuk menuntut Mursi turun? Ada banyak analisis yang dikemukakan dalam hal ini. Namun, saya tertarik pada pernyataan seorang komentator di website Tariq Ramadan, "Saya ikut demo karena memang tidak menyukai kebijakan Mursi. Tapi saya sama sekali tidak menyangka bahwa akhirnya justru militer dan orang-orang pro-Barat yang berkuasa."

Bila menggunakan kategorisasiJean-Paul Sartre,  ada tiga jenis gerakan rakyat melawan penguasa, yaitu  pemberontakan, kebangkitan, dan revolusi. Revolusi adalah tingkat tertinggi sebuah gerakan rakyat, yang bermakna menghapus total sistem politik dan ekonomi rezim lama. Gerakan rakyat  Mesir lebih tepat disebut sebagai kebangkitan karena tidak ada figur utama yang memimpin dan tidak ada kristalisasi ide perjuangan, sehingga tak banyak membawa perubahan nyata. Rakyat hanya bisa marah dan mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka, karena ketiadaan figur pemimpin revolusi. Kemarahan mereka adalah nyata. Namun, secara real pula, kekuasaan tidak ada di tangan mereka. Lagi-lagi, elitlah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah (padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala, sehingga membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan. Dan rakyat Mesirlah yang menjadi korban utama: darah kembali tertumpah sia-sia, sementara perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud.

Penutup
Tumbangnya Mursi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung Islam sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Sikap welas asih dan antisektarianisme, dan di saat yang sama tegas memperjuangkan kepentingan nasional di hadapan kekuatan asing, tetap menjadi syarat utama untuk meraih simpati rakyat. Ini agaknya penting pula dicatat oleh para aktivis muslim Indonesia yang berpatron pada Ikhwanul Muslimin.Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak kepada  mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan kepentingan organisasi eksklusif-transnasional.

Dan bagi kita bangsa Indonesia, kisruh Mesir harus dijadikan pelajaran, bukannya malah ikut berseteru demi mendukung (atau tidak mendukung) presiden sebuah negara yang letaknya ribuan kilo dari kita. Pernyataan mantan Dubes Indonesia untuk Mesir, AM Fachir (dalam acara talkshow tentang Mesir di Museum KAA, 18/7/13) penting untuk digarisbawahi. Fachir menyatakan bahwa perbedaan utama Mesir dan Indonesia adalah bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Di Mesir, konflik menjadi sangat tajam dan mengarah kepada perang saudara karena semua pihak berkeras kepala dengan kebenaran yang dipegang masing-masing. Karena itu, kita perlu kembali berpegang teguh kepada Pancasila. Kita menyembah Tuhan yang satu dan memiliki harapan yang sama: Indonesia yang damai dan makmur. Konflik di luar negeri adalah untuk diambil hikmah, bukan malah diimpor dan dijadikan bahan untuk memecah belah bangsa sendiri.

http://indonesian.irib.ir/headline2/-/asset_publisher/0JAr/content/id/5479407?_101_INSTANCE_0JAr_utm_medium=facebook&_101_INSTANCE_0JAr_utm_source=twitterfeed

Senin, Juli 08, 2013

Catatan Lebaran 1432 (3) : Mengapa Kesaksian Hilal di Cakung dan Jepara ditolak ?


Permasalahan berikutnya yang sering ditanyakan adalah mengapa kesaksian rukyah di Cakung dan Jakarta ditolak pada sidang itsbat 29 agustus, bukankah itu menyalahi ketentuan rukyat sesuai hadits nabi yang cukup hanya dengan disumpah maka sudah bisa untuk dijalankan ? Lalu mengapa juga di Saudi kesaksian yang melihat hilal begitu mudah diterima tidak sebagaimana di Indonesia ? Maka dalam hal ini pemerintah dianggap menyelisihi syariat dan mendahulukan kepentingannya.

Benar bahwa pada Senin 29 Agustus adalah laporan penglihatan hilal yang dilakukan Tim Rukyat du dua titik, masing-masing Cakung Jaktim dan Jepara Jateng. Situs Voa-islam menyebutkan bahwa : Tim Rukyat di Cakung, Jakarta Timur telah melihat hilal antara jam 17.57 sampai 18.02 WIB dengan tinggi hilal hakiki 04’03’26,06″, dilihat oleh tiga orang saksi: H Maulana Latif SPdI, Nabil Ss dan Rian Apriano. Sementara persaksian lain berasal Tim Rukyat di Pantai Kartini, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, yang memberikan kesaksian di bahwa sumpah bahwa mereka telah melihat hilal berada di sebelah kiri matahari pada pukul 17.39 selama 5 detik. Anggota tim yang melihat hilal adalah Saiful Mujab, yang merupakan tim rukyat dari akademisi dan juga dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Kedua laporan rukyatul hilal di atas di tolak dalam sidang itsbat, sementara hilal yang terlihat di Saudi dengan mudah diterima.

Pertama perlu kita ketahui bahwa pemerintah Indonesia melalui sidang itsbat menggunakan metode hisab rukyat, yaitu gabungan antara keduanya, sebagaimana disebutkan dan difatwakan oleh MUI dalam fatwa no 2 tahun 2004. Jadi hisab juga menjadi metode yang hasilnya harus dipertimbangkan dengan baik. Hisab yang digunakan oleh pemerintah sesuai dengan kesepakatan kriteria Mentri-mentri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) adalah dua derajat, begitu pula yang pernah disepakati ormas-ormas selain Muhammadiyah sebesar dua derajat. Ini metode hisab dengan kriteria imkanur rukyah ( visibilitas hilal).

Perkembangan ilmu hisab astronomi begitu maju saat ini, dengan tingkat ketelitian yang sangat-sangat kecil. Berbeda dengan pada jaman dahulu dimana hisab belum dianggap oleh jumhur ulama pada madzahibul arba’ah, maka penggunaan metode hisab saat ini telah banyak digalakkan oleh ulama-ulama kontemporer sebagaimana Yusuf Qardhawi, Ahmad Syakir, Mustafa Zarqo sebagai solusi terkini. Rasanya pembahasan soal ini telah banyak diangkat oleh Muhammadiyah dan Persis yang dikenal dengan metode hisabnya.

Namun permasalahannya adalah sebagian besar kaum muslimin dan ulama-ulamanya hari ini masih memegang metode rukyatul hilal dalam penetapan ramadhan dan idul fitri. Karenanya keduanya tidak harus dipertentangkan tetapi bisa bersinergi dan hisab membantu pelaksanaan rukyat. Inilah jalan tengah transisi saat ini yang disampaikan Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitab fiqh Syiam, dimana Hisab bisa digunakan untuk “ li nafyi wa laa li istbat”, yaitu hisab bisa digunakan untuk mengingkari penglihatan hilal, tapi untuk menegaskan penglihatan hilal tetap harus dengan rukyah. Memang terdengar agak nanggung, tapi inilah kenyataan hari ini yang paling mendekati ke arah persatuan umat.

Maka para ulama terdahulu juga membahas hal seperti ini, dimana disebutkan pula saat sidang itsbat tentang qoul yang menyatakan bahwa jika ada ijmak para ahli tentang tidak dimungkinkannya melihat hilal, maka kesaksian yang melihatnya harus di tolak. Dr. Yusuf Qardhawi bahkan sebenarnya lebih tegas lagi menyatakan : jika secara hisab hilal tidak dimungkinkan terlihat, maka tidak perlu lagi diadakan rukyat pada hari tersebut, dan bagi mahkamah dan dewan fatwa harus menutup pintu bagi mereka yang memberi kesaksian melihat hilal pada saat itu.

Mari kita kembali ke konteks tanggal 29 agustus 2011, secara penghitungan astronomi hisab baik di Indonesia maupun Saudi ada dibawah dua derajat, artinya menurut kriteria imkanur rukyat tidak bisa dilihat. Bahkan kriteria astronomi justru menunjukkan angka yang lebih tinggi, hasil pengamatan berpuluh tahun menyatakan setidaknya hilal yang dengan ketinggian 6-7 derajat lah yang memungkinkan untuk dilihat. Maka dengan metode hisab dan pendapat fikih yang dijelaskan di atas, pemerintah (dan beberapa ormas-ormas) melalui sidang itsbat pun menolak kesaksian penglihatan hilal di Cakung dan di Jepara. Jadi penolakan ini pun sah secara tinjauan fiqih. Lalu apa yang terlihat di cakung dan jepara ? dan Bagaimana dengan Saudi ?

Di Saudi kesaksian hilal diterima setelah disumpah, karena memang di sana metode yang digunakan adalah rukyat ansich, maka pertimbangan astronomi tidak menjadi prioritas lagi disana. Inilah yang terjadi dan membedakan yang terjadi di Indonesia dan di Saudi. Akibatnya ? di Saudi hingga saat ini pun ada perdebatan antara ahli astronomi yang menganggap hilal tidak mungkin terlihat saat itu dan yang dilihat adalah benda langit yang lain, sementara ulama syariah ada juga yang berkomentar keras, menuduh astronomi hendak melecehkan syariat bahkan menggugat mereka ke pengadilan. Namun perlu di catat, secara tinjauan fiqh dengan metode rukyat yang dilakukan Saudi pun telah benar adanya sebagai sebuah produk ijtihad juga.

Adapun secara tinjauan astronomi, maka klaim melihat hilal di Saudi sebenarnya sudah dipermasalahkan para ahli astronomi di sana secara bertahun-tahun. Situs Rukyatul Hilal menyebutkan : “ Pada prinsipnya para pakar (astronomi Saudi) tersebut menyayangkan sikap otoritas Saudi yang hanya mendasarkan pada pengakuan seorang saksi apalagi saksi tersebut ternyata hanya orang awam (badui) yang notebene bukan petugas resmi dari kerajaan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Bahkan setiap laporan saksi tanpa pernah dilakukan klarifikasi dan uji materi tentang validitas laporan tersebut.

Para pakar tersebut juga sempat membuat Petisi yang disampaikan langsung kepada pihak kerajaan mengenai kejanggalan tersebut. Lucunya lagi tim resmi yang telah dibentuk oleh kerajaan yang melakukan rukyat di beberapa lokasi dan dilengkapi teleskop canggih yang mampu melakukan tracking secara akurat terhadap posisi Bulan dan perlengkapan pencitraan hilal menggunakan CCD itu justru tidak pernah dipercaya laporannya yang menyatakan hilal tidak terlihat. Menurut data yang dikumpulkan oleh lembaga tersebut, setidaknya selama 30 tahun terakhir, khusus untuk Zulhijjah saja dari 30 kali laporan rukyat ternyata sekitar 75% nya atau 23 laporan rukyat dinyatakan mustahil secara ilmiah dan 7 laporan rukyat diterima.

http://beritapks.com/catatan-lebaran-1432-3-mengapa-kesaksian-hilal-di-cakung-dan-jepara-ditolak/

MISTERI HILAL CAKUNG RAMADHAN 1433 H

Binamasyarakat: secara hisab, masuknya ramadhan 1433 di Indonesia  terjadi perselisihan antara yang bermadzhab wujud hilal  (muhammadiyah) di satu pihak  dan  imkan rukyah hilal (pemerintah) serta rukyah bil-fi’li (ormas lain seperti NU) di pihak lain. Yang pertama menetapkan hari jumat sebagai awal Ramadhan karena menurut hitungannya “bulan baru” sudah lahir meski di bawah dua derajat yang itu  mustahil terlihat (menurut sejarah ilmu falak tentang hilal). Sedangkan pihak kedua memutuskan awal ramadhan adalah sabtu karena nabi shallahu alaihi wasallah memerintahkan agar kita berpuasa karena melihat hilal, yang hal ini mustahil dilaksanakan di hari kamis saat matahari terbenam, maka harus puasa hari sabtu.

Pada kamis sore diwaktu yang dianggap mustahil hilal yang dibawah dua derajat itu terlihat ada yang mengaku melihat di cakung, namun ternyata kesaksian itu ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia karena kesaksian rukyatnya tidak meyakinkan dan pemerintah memutuskan puasa jatuh pada hari sabtu  bertepatan dengan 21 juli 2012.

Lalu bagaimanakan ceritanya sampai ada yang mengklaim berhasil merukyat hilal di Cakung? Dan bagaimana sejatinya? Berikut ini beritanya:

Abdul Fakih dari ploso Kediri tinggal di pekalongan berangkat ke Cakung sengaja untuk melihat hilal karena penasaran “kenapa selama ini selalu berita rukyat dari cakung? Memang cakung itu seperti apa? Lalu orang-orangnya bagaimana bisa melihat?”

Setelah di sana Abdul fakih menilai bahwa cakung tempatnya kurang ideal sebab sempit wilayah pandangnya, tidak bebas melihat ke sisi utara dan selatan dari ufuk barat. Namun cuaca kamis sore 29 Sya’ban 1433 sangat cocok karena cerah.

Di awal pimpinan FPI sudah mengumumkan: “kita pasti akan melihat karena menurut hitungan kami hilal berada dalam ketinggian 4,2 derajat!!”

Abdul fakih terperanjat mendengar 4,2 derajat, karena  menyalahi semua hitungan falak yang hanya memathok 1,33 derajat atau kalau dibulatkan 1,5 derajat. Karena penasaran maka dia menelpon Gus Khathib Jember salah satu ahli falak dan ahli rukyat jawa Timur, menanyakan berapa derajat menurut hasil perhitungannya. Tidak lama kemudian dijawab sama Gus Khathib “1, 33 derajat, dan akan terlihat selama 5 menit di atas ufuk”!

Saat matahari terbenam semua mata melotot mencari yang namanya “hilal” ternyata hilal tak kunjung nongol,
sampai akhirnya hampir putus asa maka pimpinan FPI bilang: “wah sepertinya kita tidak melihat”, begitu kira-kira.  Akhirnya banyak orang bersiap pulang bahkan membalikkan badan beranjak pulang. Ternyata ada orang yang berseragam FPI yang tertinggal tiba-tiba teriak: “itu hilal, aku melihatnya” dia meyakinkan yang lain kalau melihatnya. Dia  mengaku melihat selama 1,5 menit . Waktu yang cukup lama untuk dilihat banyak orang dan untuk diabadikan dengan kamera, namun sayang tidak ada bukti fisik sehingga tidak berhasil meyakinkan siding itsbat dan tidak bisa meyakinkan yang lain, sehingga diputuskan oleh pemerintah RI awal puasa hari sabtu.

Berikut ini adalah contoh untuk kasus tahun lalu yang ditayangkan TV One, yang justru membuat ragu orang yang



Salah satu dari 3 orang yang mengaku melihat melaporkan sebagai berikut: “o prosesnya ketika matahari terbenam,  terus… ,e… matahari terbenam itu 17:54 wib , kemudian diambil muktsul hilal (lamanya hilal di atas ufuk), diambil muktsul hilal itu kira-kira 15 menit dari… e… dari maghrib, maka dari itu… e… ditentukan bahwa hilal kemungkinan berada di ketinggian, eh… pada jam 17:40… 40… jam 17:40, empat puluh sudah terlihat alhamdulillah…” (berarti 15 menit sebelum terbenam?!!)

Ada kesan bahwa  yg dilaporkan ini adalah teori, klaim rukyat bukan hasil pemantauan langsung melihat hilal. Ada yang khawatir bahwa  Cakung sejak lama dikenal sebagai tempat rukyat yang dipengaruhi hisab taqribi (hisab lama berdasarkan pendekatan) kitab Sulamun Nayyirain. Hitungannya sederhana sekali, perkiraan tinggi bulan adalah angka umur bulan dibagi 2. Karena umurnya sekitar 7 jam, maka tingginya dianggap sekitar 3,5 derajat, jadi dianggap sudah imkan rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Karena sudah imkan (mungkin dilihat secara teori), biasanya hampir pasti mereka melaporkan melihat hilal, walau mendung sekali pun. Jika tidak maka seharusnya kita mendengarkan detilnya sifat hilal yang dilihat di lapangan dan proses melihatnya lalu siapa-siapa yang terlibat adan apa saja yang diperlukan untuk dilaporkan agar yang lain bisa yakin dan bisa mengikuti puasa berdasarkan rukyat.

Begitulah sedikit misteri hilal cakung yang setiap tahun nya selalu membawa cerita.

Namun kita akan lega insyaallah hari rayanya nanti kita akan bersama. Lebih enak, awal berselisih akhir sepakat dari pada awal sepakat akhir berselisih! Wallahu a’lam.

http://www.binamasyarakat.com/?p=1104

Senin, Juli 01, 2013

Karomah dan Fitnah




 
ونبلوكم بالشر والخير فتنة

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” QS. Al-Anbiya 21: 35.

Ada sejumlah orang yang tetap kukuh imannya meski mendapat cobaan kesusahan, tapi boleh jadi mereka akan menipis imannya tatkala mendapatkan musibah kenikmatan; Saat mereka hidup pas-pasan ibadah dan amal salehnya luar biasa, kemudian saat dia mendapatkan rizki melimpah tiba-tiba saja hidupnya keluar dari jalur yang benar. Sebaliknya, terdapat sejumlah orang yang jalan hidupnya lurus dan istiqamah tatkala dalam kecukupan, dan segera menurun kualitas keimanannya begitu mendapatkans musibah.

Dan bagi banyak orang yang sangat saleh, seringkali ujian itu justru terletak pada perjumpaannya dengan anugerah-anugerah Allah yang luar biasa. Itulah kenapa banyak para nabi dan guru-guru waskita menghindarinya demi menjauh dari fitnah-fitnah yang boleh jadi tak tertanggungkan.

Kaum Quraisy pernah melakukan “studi banding” antara Muhammad dan dua nabi besar sebelumnya, Musa dan Isa. Mereka mendatangi Yahudi, dan mengajukan pertanyaan:

“Dengan apa Musa mengenalkan diri sebagai Nabi?”

“(Dengan) tongkatnya, dan tangannya memerak menyilaukan mata yang memandangnya” jawab Yahudi.

Lalu Quraisy mendatangi umat Nasrani.

“Bagaimana dahulu Isa?”

“Dia menyembuhkan Orang buta dan penderita kusta, dia (juga) menghidupkan orang mati.”

Mereka kemudian mendatangi Muhammad yang mereka anggap sebagai manusia biasa-biasa saja. Tak ada kemukjizatan fisik atau yang kasat mata, yang menyertai kenabiannya. Oleh karena itu mereka mengajukan semacam gugatan.

“Mintalah kepada Tuhanmu agar mengubah bukit shafa menjadi bukit emas. Dan kami akan iman kepada engaku!”

“Benarkah kalian akan iman jika itu terjadi?”

“Iya!”

Maka Nabi pun berdoa. Namun jibril segera turun menyela:

“Tuhanmu mengirimkan salam untuk dirimu. Dan Dia bertitah:”

“Jika engkau menginginkan maka bukit Shofa akan menjadi emas. Lalu siapa pun dari mereka mengufurinya maka akan Aku siksa dengan siksaan yang belum pernah Aku hukumkan kepada seorang pun dari seru sekalian alam. Dan jika engkau menginginkan maka akan Aku bukakan bagi mereka pintu-pintu taubat dan rahmat.”

Muhammad Menjawab:

“Wahai Tuhanku, (berikanlah bagi mereka) pintu taubat dan rahmat.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa saat itulah turun ayat,  
"Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu"
QS. Al-Isro 17:59

Mukjizat, begitu juga karamah, adalah salah satu ujian (fitnah) terbesar. Mereka yang tak sanggup mensyukurinya akan segera merasakan akibatnya. Berkali-kali Nabi Muhammad diminta untuk mengeluarkan mukjizat alam yang kasat mata, dan berkali-kali Nabi menolak. Bagi Muhammad, alam semesta adalah mukjizat itu sendiri bagi mereka yang berakal.

إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” QS. Ali Imran 3: 190.

Ada sebuah cerita tentang seseorang yang sangat dekat dengan Allah SWT. Dalam hidupnya hampir tidak pernah absen melaksanakan salat malam. Pada suatu hari dalam sebuah perjalanan, dia mengahampiri masjid untuk melaksanakan salat malam. Dia mengulurkan timba ke dalam sumur untuk mengambil air wudhu. Akan tetapi keajaiban datang, ketika timba dia angkat isinya bukan air tetapi permata.

“Subhanallah! Apa gerangan ini?”

Ia ulurkan kembali tali timba ke dalam sumur. Doanya lirih:

“Hamba menginginkan air untuk wudhu dan salat, bukan intan permata yang hanya menghalanginya dari salat dan dzikir.”

Timba dia angkat, dan kembali keajaiban itu datang. Timba berisi intan permata, bukan air.

“Wahai Tuhanku, hamba ini menginginkan air untuk wudhu dan salatnya, bukan intan permata yang menghalangi salat dan dzikir kepada Engkau” doanya kembali dengan sangat hati-hati.

Ia pun memasukkan kembali timba ke dalam sumur. Dan untuk ketiga kalinya, timba itu berisi permata ketika dia angkat. Maka doanya berkali-kali sambil mengulurkan tali:

“Belas kasihanilah hamba-Mu ini Ya Allah ..  hamba-Mu ini meminta dari Engkau air agar Engkau berkenan membimbinnya beribadah dan bertahajjud.  Ia meminta pertolongan dari-Mu maka berikanlah pertolongan dengan air yang thahuur untuk berwudhu.”

Untuk kali yang ke empat ini, dia menimba air yang betul-betul jernih, yang tidak saja menyegarkan badan tetapi lebih dari itu menyegarkan batin. Dia bersuci dan menghadap kepada Tuhannya dengan sepenuh kebeningan.

Wallaahu a'lam bish-shawaab ..

https://www.facebook.com/notes/abdul-ghofur-maimoen-full/keramat-dan-fitnah/10151449054308088
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...