Senin, Juli 08, 2013

Catatan Lebaran 1432 (3) : Mengapa Kesaksian Hilal di Cakung dan Jepara ditolak ?


Permasalahan berikutnya yang sering ditanyakan adalah mengapa kesaksian rukyah di Cakung dan Jakarta ditolak pada sidang itsbat 29 agustus, bukankah itu menyalahi ketentuan rukyat sesuai hadits nabi yang cukup hanya dengan disumpah maka sudah bisa untuk dijalankan ? Lalu mengapa juga di Saudi kesaksian yang melihat hilal begitu mudah diterima tidak sebagaimana di Indonesia ? Maka dalam hal ini pemerintah dianggap menyelisihi syariat dan mendahulukan kepentingannya.

Benar bahwa pada Senin 29 Agustus adalah laporan penglihatan hilal yang dilakukan Tim Rukyat du dua titik, masing-masing Cakung Jaktim dan Jepara Jateng. Situs Voa-islam menyebutkan bahwa : Tim Rukyat di Cakung, Jakarta Timur telah melihat hilal antara jam 17.57 sampai 18.02 WIB dengan tinggi hilal hakiki 04’03’26,06″, dilihat oleh tiga orang saksi: H Maulana Latif SPdI, Nabil Ss dan Rian Apriano. Sementara persaksian lain berasal Tim Rukyat di Pantai Kartini, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, yang memberikan kesaksian di bahwa sumpah bahwa mereka telah melihat hilal berada di sebelah kiri matahari pada pukul 17.39 selama 5 detik. Anggota tim yang melihat hilal adalah Saiful Mujab, yang merupakan tim rukyat dari akademisi dan juga dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Kedua laporan rukyatul hilal di atas di tolak dalam sidang itsbat, sementara hilal yang terlihat di Saudi dengan mudah diterima.

Pertama perlu kita ketahui bahwa pemerintah Indonesia melalui sidang itsbat menggunakan metode hisab rukyat, yaitu gabungan antara keduanya, sebagaimana disebutkan dan difatwakan oleh MUI dalam fatwa no 2 tahun 2004. Jadi hisab juga menjadi metode yang hasilnya harus dipertimbangkan dengan baik. Hisab yang digunakan oleh pemerintah sesuai dengan kesepakatan kriteria Mentri-mentri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) adalah dua derajat, begitu pula yang pernah disepakati ormas-ormas selain Muhammadiyah sebesar dua derajat. Ini metode hisab dengan kriteria imkanur rukyah ( visibilitas hilal).

Perkembangan ilmu hisab astronomi begitu maju saat ini, dengan tingkat ketelitian yang sangat-sangat kecil. Berbeda dengan pada jaman dahulu dimana hisab belum dianggap oleh jumhur ulama pada madzahibul arba’ah, maka penggunaan metode hisab saat ini telah banyak digalakkan oleh ulama-ulama kontemporer sebagaimana Yusuf Qardhawi, Ahmad Syakir, Mustafa Zarqo sebagai solusi terkini. Rasanya pembahasan soal ini telah banyak diangkat oleh Muhammadiyah dan Persis yang dikenal dengan metode hisabnya.

Namun permasalahannya adalah sebagian besar kaum muslimin dan ulama-ulamanya hari ini masih memegang metode rukyatul hilal dalam penetapan ramadhan dan idul fitri. Karenanya keduanya tidak harus dipertentangkan tetapi bisa bersinergi dan hisab membantu pelaksanaan rukyat. Inilah jalan tengah transisi saat ini yang disampaikan Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitab fiqh Syiam, dimana Hisab bisa digunakan untuk “ li nafyi wa laa li istbat”, yaitu hisab bisa digunakan untuk mengingkari penglihatan hilal, tapi untuk menegaskan penglihatan hilal tetap harus dengan rukyah. Memang terdengar agak nanggung, tapi inilah kenyataan hari ini yang paling mendekati ke arah persatuan umat.

Maka para ulama terdahulu juga membahas hal seperti ini, dimana disebutkan pula saat sidang itsbat tentang qoul yang menyatakan bahwa jika ada ijmak para ahli tentang tidak dimungkinkannya melihat hilal, maka kesaksian yang melihatnya harus di tolak. Dr. Yusuf Qardhawi bahkan sebenarnya lebih tegas lagi menyatakan : jika secara hisab hilal tidak dimungkinkan terlihat, maka tidak perlu lagi diadakan rukyat pada hari tersebut, dan bagi mahkamah dan dewan fatwa harus menutup pintu bagi mereka yang memberi kesaksian melihat hilal pada saat itu.

Mari kita kembali ke konteks tanggal 29 agustus 2011, secara penghitungan astronomi hisab baik di Indonesia maupun Saudi ada dibawah dua derajat, artinya menurut kriteria imkanur rukyat tidak bisa dilihat. Bahkan kriteria astronomi justru menunjukkan angka yang lebih tinggi, hasil pengamatan berpuluh tahun menyatakan setidaknya hilal yang dengan ketinggian 6-7 derajat lah yang memungkinkan untuk dilihat. Maka dengan metode hisab dan pendapat fikih yang dijelaskan di atas, pemerintah (dan beberapa ormas-ormas) melalui sidang itsbat pun menolak kesaksian penglihatan hilal di Cakung dan di Jepara. Jadi penolakan ini pun sah secara tinjauan fiqih. Lalu apa yang terlihat di cakung dan jepara ? dan Bagaimana dengan Saudi ?

Di Saudi kesaksian hilal diterima setelah disumpah, karena memang di sana metode yang digunakan adalah rukyat ansich, maka pertimbangan astronomi tidak menjadi prioritas lagi disana. Inilah yang terjadi dan membedakan yang terjadi di Indonesia dan di Saudi. Akibatnya ? di Saudi hingga saat ini pun ada perdebatan antara ahli astronomi yang menganggap hilal tidak mungkin terlihat saat itu dan yang dilihat adalah benda langit yang lain, sementara ulama syariah ada juga yang berkomentar keras, menuduh astronomi hendak melecehkan syariat bahkan menggugat mereka ke pengadilan. Namun perlu di catat, secara tinjauan fiqh dengan metode rukyat yang dilakukan Saudi pun telah benar adanya sebagai sebuah produk ijtihad juga.

Adapun secara tinjauan astronomi, maka klaim melihat hilal di Saudi sebenarnya sudah dipermasalahkan para ahli astronomi di sana secara bertahun-tahun. Situs Rukyatul Hilal menyebutkan : “ Pada prinsipnya para pakar (astronomi Saudi) tersebut menyayangkan sikap otoritas Saudi yang hanya mendasarkan pada pengakuan seorang saksi apalagi saksi tersebut ternyata hanya orang awam (badui) yang notebene bukan petugas resmi dari kerajaan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Bahkan setiap laporan saksi tanpa pernah dilakukan klarifikasi dan uji materi tentang validitas laporan tersebut.

Para pakar tersebut juga sempat membuat Petisi yang disampaikan langsung kepada pihak kerajaan mengenai kejanggalan tersebut. Lucunya lagi tim resmi yang telah dibentuk oleh kerajaan yang melakukan rukyat di beberapa lokasi dan dilengkapi teleskop canggih yang mampu melakukan tracking secara akurat terhadap posisi Bulan dan perlengkapan pencitraan hilal menggunakan CCD itu justru tidak pernah dipercaya laporannya yang menyatakan hilal tidak terlihat. Menurut data yang dikumpulkan oleh lembaga tersebut, setidaknya selama 30 tahun terakhir, khusus untuk Zulhijjah saja dari 30 kali laporan rukyat ternyata sekitar 75% nya atau 23 laporan rukyat dinyatakan mustahil secara ilmiah dan 7 laporan rukyat diterima.

http://beritapks.com/catatan-lebaran-1432-3-mengapa-kesaksian-hilal-di-cakung-dan-jepara-ditolak/

MISTERI HILAL CAKUNG RAMADHAN 1433 H

Binamasyarakat: secara hisab, masuknya ramadhan 1433 di Indonesia  terjadi perselisihan antara yang bermadzhab wujud hilal  (muhammadiyah) di satu pihak  dan  imkan rukyah hilal (pemerintah) serta rukyah bil-fi’li (ormas lain seperti NU) di pihak lain. Yang pertama menetapkan hari jumat sebagai awal Ramadhan karena menurut hitungannya “bulan baru” sudah lahir meski di bawah dua derajat yang itu  mustahil terlihat (menurut sejarah ilmu falak tentang hilal). Sedangkan pihak kedua memutuskan awal ramadhan adalah sabtu karena nabi shallahu alaihi wasallah memerintahkan agar kita berpuasa karena melihat hilal, yang hal ini mustahil dilaksanakan di hari kamis saat matahari terbenam, maka harus puasa hari sabtu.

Pada kamis sore diwaktu yang dianggap mustahil hilal yang dibawah dua derajat itu terlihat ada yang mengaku melihat di cakung, namun ternyata kesaksian itu ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia karena kesaksian rukyatnya tidak meyakinkan dan pemerintah memutuskan puasa jatuh pada hari sabtu  bertepatan dengan 21 juli 2012.

Lalu bagaimanakan ceritanya sampai ada yang mengklaim berhasil merukyat hilal di Cakung? Dan bagaimana sejatinya? Berikut ini beritanya:

Abdul Fakih dari ploso Kediri tinggal di pekalongan berangkat ke Cakung sengaja untuk melihat hilal karena penasaran “kenapa selama ini selalu berita rukyat dari cakung? Memang cakung itu seperti apa? Lalu orang-orangnya bagaimana bisa melihat?”

Setelah di sana Abdul fakih menilai bahwa cakung tempatnya kurang ideal sebab sempit wilayah pandangnya, tidak bebas melihat ke sisi utara dan selatan dari ufuk barat. Namun cuaca kamis sore 29 Sya’ban 1433 sangat cocok karena cerah.

Di awal pimpinan FPI sudah mengumumkan: “kita pasti akan melihat karena menurut hitungan kami hilal berada dalam ketinggian 4,2 derajat!!”

Abdul fakih terperanjat mendengar 4,2 derajat, karena  menyalahi semua hitungan falak yang hanya memathok 1,33 derajat atau kalau dibulatkan 1,5 derajat. Karena penasaran maka dia menelpon Gus Khathib Jember salah satu ahli falak dan ahli rukyat jawa Timur, menanyakan berapa derajat menurut hasil perhitungannya. Tidak lama kemudian dijawab sama Gus Khathib “1, 33 derajat, dan akan terlihat selama 5 menit di atas ufuk”!

Saat matahari terbenam semua mata melotot mencari yang namanya “hilal” ternyata hilal tak kunjung nongol,
sampai akhirnya hampir putus asa maka pimpinan FPI bilang: “wah sepertinya kita tidak melihat”, begitu kira-kira.  Akhirnya banyak orang bersiap pulang bahkan membalikkan badan beranjak pulang. Ternyata ada orang yang berseragam FPI yang tertinggal tiba-tiba teriak: “itu hilal, aku melihatnya” dia meyakinkan yang lain kalau melihatnya. Dia  mengaku melihat selama 1,5 menit . Waktu yang cukup lama untuk dilihat banyak orang dan untuk diabadikan dengan kamera, namun sayang tidak ada bukti fisik sehingga tidak berhasil meyakinkan siding itsbat dan tidak bisa meyakinkan yang lain, sehingga diputuskan oleh pemerintah RI awal puasa hari sabtu.

Berikut ini adalah contoh untuk kasus tahun lalu yang ditayangkan TV One, yang justru membuat ragu orang yang



Salah satu dari 3 orang yang mengaku melihat melaporkan sebagai berikut: “o prosesnya ketika matahari terbenam,  terus… ,e… matahari terbenam itu 17:54 wib , kemudian diambil muktsul hilal (lamanya hilal di atas ufuk), diambil muktsul hilal itu kira-kira 15 menit dari… e… dari maghrib, maka dari itu… e… ditentukan bahwa hilal kemungkinan berada di ketinggian, eh… pada jam 17:40… 40… jam 17:40, empat puluh sudah terlihat alhamdulillah…” (berarti 15 menit sebelum terbenam?!!)

Ada kesan bahwa  yg dilaporkan ini adalah teori, klaim rukyat bukan hasil pemantauan langsung melihat hilal. Ada yang khawatir bahwa  Cakung sejak lama dikenal sebagai tempat rukyat yang dipengaruhi hisab taqribi (hisab lama berdasarkan pendekatan) kitab Sulamun Nayyirain. Hitungannya sederhana sekali, perkiraan tinggi bulan adalah angka umur bulan dibagi 2. Karena umurnya sekitar 7 jam, maka tingginya dianggap sekitar 3,5 derajat, jadi dianggap sudah imkan rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Karena sudah imkan (mungkin dilihat secara teori), biasanya hampir pasti mereka melaporkan melihat hilal, walau mendung sekali pun. Jika tidak maka seharusnya kita mendengarkan detilnya sifat hilal yang dilihat di lapangan dan proses melihatnya lalu siapa-siapa yang terlibat adan apa saja yang diperlukan untuk dilaporkan agar yang lain bisa yakin dan bisa mengikuti puasa berdasarkan rukyat.

Begitulah sedikit misteri hilal cakung yang setiap tahun nya selalu membawa cerita.

Namun kita akan lega insyaallah hari rayanya nanti kita akan bersama. Lebih enak, awal berselisih akhir sepakat dari pada awal sepakat akhir berselisih! Wallahu a’lam.

http://www.binamasyarakat.com/?p=1104

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...