Kamis, Maret 01, 2012

Imam Ghazali dan Perampok


Siapa yang tidak kenal dengan Imam Al Ghazali ? Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Gelarnya adalah Hujjatul Islam Zainudin Ath-Thusi. Ketika kaum muslimin tengah di landa keraguan dan saling curiga ,pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1057 M. Di desa Ghazalah kota Thus, sebuah daerah yang berbatasan dengan Mashad di IRAN,lahirnya seorang anak yang dikemudian hari akan tumbuh menjadi seorang imam besar yang dapat menautkan kembali segala perpecahan diantara umat Islam dan mempersatukan mereka. Dialah Al-Ghazali.


Abu Hamid ibnu Muhammad ibnu Ahmad, atau Imam Ghazali, lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 1058M/450H. Karya masterpiece-nya Ihya Ulumuddin, menjadi bacaan wajib bagi orang-orang yang ingin belajar tasawuf. Ia lahir dalam keluarga yang sangat taat beragama. Ayahnya adalah seorang pemintal Wool berasal dari desa Ghazalah. Nama desa inilah yang kelak menjadi nama sebutan bagi anaknya, Abu Hamid, yaitu Ghazali.


Ia adalah seorang hamba pilihan yang merupakan salah satu bagian dari kebajikan yang di hamparkan Allah SWT di muka bumi ini. Ia ibarat sebuah pelita yang menerangi dunia islam yang saat itu mulai pudar. Dengan semakin berkembangnya cara berpikir manusia, umat islam menjadi terpecah belah dan dalam agama islam berkembang berbagai macam aliran. Melalui Imam Ghazali Allah SWT menyatukan lagi umat islam dalam satu wadah kepercayaan mutlak terhadap sang Maha Pencipta.



Beliau mendapat nama sebutan Al-Ghazali sesuai dengan nama tempat kelahirannya yaitu Ghazalah. Ia lahir di tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang shalih dan senang bersedekah. Ia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di toko.



Pada masa itu, lebih kurang pada abad kelima hijriah, Naishabur (daerah yang tidak jauh dari Thus) merupakan pusat ilmu pengetahuan di kawasan tersebut. Biasanya, penduduk sekitar Thus akan pergi menuntut ilmu di Naishabur, tak terkecuali Al-Ghazali. Ia pergi ke Naishabur dan Gurgan.



Dengan semangat yang tinggi, bertahun-tahun ia belajar kepada ulama-ulama dan orangorang bijak setempat. Untuk menjaga ilmu pengetahuan yang diperolehnya, Al Ghazali sangat rajin mencatat setiap yang didapat dari guru-gurunya. Ia sangat mencintai jerih payahnya ini, bagaikan dirinya sendiri.



Dan setelah bertahun-tahun belajar, akhirnya Al-Ghazali berencana untuk pulang ke kampung halamannya. Al-Ghazali menyusun dan mengumpulkan catatan-catatannya, lalu ikut kafilah yang akan pergi ke kampungnya. Ditengah jalan, kafilah itu dihadang oleh segorombolan perampok. Mereka mengambil setiap barang yang dijumpai.



Pada giliran barang-barang bawaan Al-Ghazali, ia berkata kepada perampok tersebut,



“Kalian boleh ambil semua barang-barangku, tapi tolong jangan kalian ambil yang satu ini.”

Gerombolan perampok tersebut menduga bahwa pasti itu adalah barang-barang yang bernilai. Secepat kilat mereka merebut dan membukanya. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali setumpukan kertas-kertas yang hitam.



Hai anak muda, apa ini? Untuk apa kau menyimpannya? tanya para perampok itu.



Itulah barang-barang yang tidak akan berguna bagi kalian, tapi berguna bagiku,” jawab Al-Ghazali.

Apa gunanya?”



Ini adalah hasil pelajaranku selama beberapa tahun,” jawab Al-ghazali. Jika kalian merampasnya dariku, maka ilmuku akan habis, dan usahaku yang bertahun-tahun itu akan sia-sia. “



mengapa engkau begitu ingin melindungi buku itu?” tanya sang pemimpin perampok.



karena buku ini adalah buku satu-satunya yang mencatat sebuah ilmu yang sangat penting…” jawab Al-Ghazali.



Hanya yang ada dalam lembaran-lembaran inikah ilmumu?” tanya salah seorang perampok

Ya, jawab Al-Ghazali.



Perampok itu melanjutkan, “Bagaimana menurutmu seandainya semua buku pelajaranmu ini ku ambil? maka sudah pasti kamu berpikir bahwa kamu akan menjadi orang bodoh. Karena kamu masih mengandalkan buku dan catatan. Pelajaran seharusnya di simpan di kepala bukan di dalam buku. Kalau memang begitu penting, mengapa tidak kau ajari orang lain tentang ilmu tersebut? bukankah kalau buku ini terbakar habis, maka hilanglah ilmu yang kau anggap penting itu? Ketahuilah wahai anak muda, Ilmu yang disimpan dalam bungkusan dan yang dapat dicuri, sebenarnya bukanlah ilmu. Pikirkanlah nasib dirimu baik-baik.”



Kemudian para perampok itu pergi meninggalkan Al-Ghazali yang sedang memunguti kitab-kitab dan buku catatannya sambil merenungi cemoohan kepala perampok tersebut.



Ucapan sederhana yang keluar dari mulut perampok tersebut, betul-betul mengguncang jiwa dan kesadaran Al-Ghazali. Ia yang sampai saat itu masih berfikir untuk sekedar mengikut ustadnya dan mencatat ilmunya di buku-buku tulis saja, seketika berubah pikiran, yakni berusaha melatih otaknya lebih banyak, mengkaji dan menganalisa, lalu menyimpan ilmu-ilmu yang bermanfaat itu dibuku otaknya”.



Semua ucapan perampok tersebut yang nadanya mencemooh bagi Al-Ghazali justru merupakan nasehat penting dan hikmah serta berkah yang tak ternilai harganya.



Sejak peristiwa itu Al-Ghazali semakin rajin menghafal. Satu persatu pelajaran yang asalnya merupakan tulisan kini telah pindah dan tertanam dalam otak dan hati sanubari Al-Ghazali.



Al-Ghazali berkata, “Sebaik-baik nasehat yang membimbing kehidupan intelektualitasku adalah nasehat yang kudengar dari mulut seorang perampok.”

http://groups.yahoo.com/group/huttaqi/message/3646

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...