Senin, Juni 04, 2012

Begitu Cepat Berlalu


Seorang Sufi yang telah mengembara jauh dan dengan susah payahnya melewati gurun, akhirnya tiba di sebuah perkampungan. Desa itu disebut bukit berpasir, daerahnya kering dan panas. Kecuali rerumputan yang mencukupi ternak mereka dan semak-semak, tanaman kehijauan amatlah langka di situ. Ternak adalah harta utama mereka. Bukit berpasir; seandainya kondisi tanahnya berbeda, mungkin mereka juga dapat bercocok tanam. Sang Sufi dengan sopan menyapa orang yang berpapasan dengannya, lalu menanyakan apa ada tempat di mana dia bisa mendapatkan sekerat makanan dan menginap selama semalam. “Baiklah,” kata orang itu, mengusap kepalanya, “kami tidak punya tempat semacam itu di desa ini. Tetapi aku yakin Syakir dapat membantumu.” Kemudian orang itu menunjukkan arah untuk menuju peternakan Syakir, orang yang namanya berarti: “orang yang terus-menerus bersyukur kepada Allah”.

Dalam perjalanan menuju peternakan tersebut, sang Sufi menghampiri sekelompok orang tua yang sedang menyedot pipanya, dan menanyakan kebenaran arah yang ditujunya. Dari mereka, Sufi tersebut mengetahui bahwa Syakir memiliki lebih dari seribu ternak,-“Dan lebih dari kekayaan Haddad, yang tinggal di desa tetangga.”

Tak berapa lama kemudian, sang Sufi sudah berdiri di depan rumah Syakir, dan terkagum-kagum. Ternyata, Syakir adalah orang yang sangat ramah dan baik. Dia memaksa Sufi agar sudi tinggal di rumahnya selama dua hari. Isteri dan anak Syakir juga tidak kalah baik dan ramahnya. Mereka menerima sang Sufi apa adanya dan menyediakan yang terbaik untuknya. Di akhir kunjungan, mereka bahkan membekali dengan makanan yang banyak dan air untuk di perjalanannya.

Di dalam perjalanannya kembali ke gurun, sang Sufi terus memikirkan maksud ucapan terakhir Syakir pada saat mereka berpisah. Waktu itu sang Sufi berkata, “Alhamdulillah, engkau begitu baik.”

“Tetapi, Sufi,” Syakir menjawab, “jangan tertipu penampilan, karena ini akan terlalu cepat berlalu.”

Selama tahun-tahun yang dia lewati di jalan Sufi, sang Sufi telah memahami bahwa apa pun yang dia lihat atau dia dengar di dalam perjalanannya, memberikan cukup bahan untuk dipelajari, dan karena itu memberikan sebentuk ketakafuran yang berharga. Sebenarnya, karena alasan inilah dia mengembara-untuk belajar lebih dalam lagi. Ucapan Syakir melekat di benaknya, dan dia tidak yakin bahwa dia memahami maknanya sepenuhnya.

Dia duduk di bawah bayangan sebuah pohon untuk berdoa dan bertafakur. Latihan Sufinya mengajarkan agar dia tetap tenang dan tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan, karena pada akhirnya dia akan menemukan jawaban. Dia diajari untuk diam dan tidak bertanya; bila tiba saatnya untuk diberi penerangan, saat itu akan datang. Oleh karena itu, dia menutup pintu pikirannya dan tenggelam dalam renungannya.

Begitulah, dia meneruskan pengembaraannya ke pelbagai tempat selama lima tahun, bertemu dengan orang-orang baru, dan belajar dari pengalaman yang diperolehnya di jalan. Setiap petualangan menawarkan pelajaran baru. Sementara itu, sebagaimana kebiasaan Sufi, dia terus berusaha untuk tetap tenang, berkonsentrasi pada kata hatinya.

Suatu hari, sang Sufi menemukan dirinya kembali ke desa Bukit Berpasir, desa yang pernah disinggahinya beberapa tahun yang lalu. Dia ingat kembali kepada sahabatnya Syakir, kemudian menanyakannya pada orang yang ditemuinya. “Dia tinggal di desa tetangga, sepuluh mil dari sini. Sekarang dia bekerja pada Haddad, “Jawab penduduk desa itu. Sang Sufi terkejut, teringat kembali bahwa Haddad juga orang kaya di wilayah tersebut. Gembira karena akan kembali bertemu dengan Syakir, dia bergegas menuju desa tetangga.

Di rumah Haddad yang megah, sang Sufi disambut oleh Syakir, yang terlihat jauh lebih tua dan mengenakan pakaian yang jelek. “Apa yang telah terjadi padamu?” Tanya Sufi ingin tahu. Syakir menjawab bahwa tiga tahun sebelumnya datang banjir yang menghabiskan seluruh ternak dan rumahnya. Oleh karena itu dia dan keluarganya kemudian menjadi pelayan Haddad, yang selamat dari bencana itu dan sekarang menikmati status sebagai orang terkaya di wilayah itu. Meski demikian, hal tersebut tidak mengubah keramahan dan kebaikan Syakir dan keluarganya. Mereka dengan ramah mempersilahkan sang Sufi untuk tinggal di pondok mereka selama dua hari, dan memberi bekal air dan makanan ketika Sufi itu akan pergi.

Sewaktu pamitan, sang Sufi berkata, “Aku menyesali apa yang terjadi padamu dan keluargamu. Aku tahu Tuhan memiliki alasan atas segala yang Dia lakukan.”

“Oh, tapi ingatlah, ini akan cepat berlalu.”

Ucapan Syakir terus berdengung di telinga sang Sufi. Wajah Syakir yang tersenyum dan tenang tidak pernah melenyap dari benaknya. “Apa maksudnya berkata begitu pada saat ini?” Sang Sufi sekarang tahu bahwa ucapan terakhir Syakir pada kunjungan pertamanya adalah untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi. Tetapi saat ini, sang Sufi bertanya-tanya, apakah  ucapan itu merupakan pernyataan yang optimistik. Jadi, sang Sufi membiarkannya, menanti jawaban yang akan muncul.

Bulan berganti tahun, sang Sufi terus mengembara tanpa kenal lelah. Anehnya, perjalanannya selalu membawanya kembali ke desa di mana Syakir berada. Kali ini, perlu waktu tujuh tahun sebelum akhirnya dia kembali ke desa Bukit Berpasir. Dan Syakir sudah menjadi kaya kembali. Syakir tinggal di rumah utama yang dulu didiami Haddad. “Haddad meninggal dunia dua tahun yang lalu,” Syakir menjelaskan, “dan karena dia tidak mempunyai ahli waris, dia memutuskan untuk mewariskan seluruh kekayaannya kepadaku sebagai penghargaan atas pelayananku yang setia.”

Di akhir kunjungan, sang Sufi mempersiapkan diri untuk perjalanan terbesarnya: dia akan menunaikan ibadah haji ke Makkah, menyeberangi Saudi Arabia dengan berjalan kaki, tradisi Sufi yang sudah berjalan sejak lama. Perpisahannya dengan Syakir tidak berbeda dengan sebelumnya. Syakir kembali berkata, “Semua ini akan cepat berlalu.”

Setelah berangkat haji, sang Sufi berkelana ke India. Dalam perjalanan pulangnya ke Persia, dia memutuskan untuk mengunjungi Syakir lagi, untuk melihat apa yang sudah terjadi. Maka sang Sufi pun kembali ke desa Bukit Berpasir. Ttapi, bukannya Syakir yang dia temukan, melainkan nisan sederhananya yang bertuliskan “Ini semua akan cepat berlalu”. Dan Sufi lebih heran lagi melihat tulisan itu. “Kekayaan datang dan pergi,” pikir sang Sufi, “tetapi bagaimana sebuah makam bisa berubah?”

Sejak saat itu, sang Sufi memutuskan untuk mengunjungi makam sahabatnya tersebut setiap tahun. Dia menghabiskan waktu berjam-jam bertafakur di tempat itu setiap kali berkunjung. Suatu ketika, dia menemukan  pemakamanan dan nisan Syakir telah hilang terbawa air bah. Sekarang sang Sufi yang sudah tua itu kehilangan jejak satu-satunya dari orang yang telah memberinya pengalaman hidup yang istimewa. Sang Sufi diam tunduk menatap tanahdi reruntuhan pemakaman itu selama berjam-jam. Akhirnya dia mengangkat kepalanya, memandang kearah langit. Kemudian, seolah menemukan makna yang lebih besar, dia menganggukkan kepalanya dan berkata, “Begitu cepatnya semua ini berlalu.”

Ketika sang Sufi bertambah tua dan tidak sanggup lagi melakukan perjalanan, dia memutuskan untuk tinggal dan hidup dengan damai dan tenang.

Tahun demi tahun berlalu, sang Sufi menghabiskan waktunya dengan membantu orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta nasihat, dan pelbagai pengalaman dengan orang-orang yang lebih muda darinya. Banyak orang datang dari mana-mana untuk memanfaatkan kearifannya. Ketenarannya akhirnya didengar oleh penasihat raja, yang pada saat itu sedang mencari orang yang bijaksana.

Sang raja meminta dibuatkan cincin. Cincin tersebut harus istimewa; cincin tersebut harus memiliki tulisan yang dapat membuat raja merasa senang ketika dia sedih; dan ketika dia bahagia, dengan melihat cincin itu, dia akan merasa sedih.

Ahli-ahli perhiasan  terbaik telah didatangkan, dan banyak orang baik wanita maupun laki-laki yang diminta saran, tetapi tidak satu pun hasilnya yang disukai raja. Maka sang penasihat raja pun menulis surat kepada sang Sufi, menjelaskan situasinya, memohon bantuan sang Sufi dan mengundangnya untuk datang ke istana. Tanpa meninggalkan rumahnya, sang Sufi mengirimkan jawaban.

Beberapa hari kemudian, sebuah cincin jamrud pun dibuat dan dipersembahkan kepada sang raja. Raja yang telah berhari-hari murung, dengan malas mengenakan cincin tersebut di jarinya, dan menatapnya dengan pandangan kecewa. Tetapi, dia lalu tersenyum, dan tak lama kemudian dia tertawa keras. Pada cincin itu tertulis “Ini terlalu cepat berlalu.”



Sumber :

Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, "Para Sufi Agung : Kisah dan Legenda",Terjemahan dari : "Tales from the Land of the Sufis", Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal 87-91.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...